Reporter: Petrus Sian Edvansa | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Target pemerintah merilis surat berharga negara (SBN) hampir tercapai. Mengacu data Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, per 16 November 2016, pemerintah sudah merilis SBN senilai Rp 645,65 triliun.
Jumlah itu setara 98,67% dari kebutuhan tahun ini mencapai Rp 654,35 triliun. Di saat pasokan minim, harga SBN di pasar sekunder biasanya terangkat.
Namun sejumlah analis pesimistis soal kemungkinan itu. Harga surat utang acuan memang cenderung menurun belakangan ini. Lihat saja harga SUN FR0056, surat utang acuan tahun 2016 yang bertenor 10 tahun, kemarin di posisi 103,86.
Harga SUN ini sudah menyusut 4,99% dibandingkan sebulan lalu sebesar 109,31. Bahkan dibandingkan posisi tertingginya di level 111,71 yang tercipta pada 10 Agustus 2016, harga FR0056 kemarin sudah merosot 7%.
Secara umum, perekonomian Indonesia masih bagus. Sejak awal tahun ini hingga akhir September, situasi pasar yang kondusif menyebabkan permintaan SBN naik di pasar sekunder, apalagi didukung kebijakan Bank Indonesia (BI) yang sempat beberapa kali memangkas suku bunga acuan. "Ketika permintaan naik, akan berdampak pada harga yang cenderung naik," ujar Beben Feri Wibowo, analis pasardana.id.
Namun, memasuki kuartal keempat tahun ini, kondisinya agak berbeda. Saat ini, Beben merasa situasi pasar agak terganggu akibat sentimen global. Hasil pemilu Amerika Serikat dan rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed adalah contohnya.
Bahkan, spekulasi kenaikan suku bunga makin santer terdengar pasca pengumuman data inflasi AS, yang di posisi 1,6% pada Oktober, naik dari bulan sebelumnya 1,5%. Angka ini semakin mendekati target inflasi AS di level 2%.
Ini berarti ekonomi AS membaik dan semakin besar kemungkinan The Fed mengerek suku bunga yang saat ini 0,5%.
Yudistira Slamet, Head of Debt Research Danareksa Sekuritas, menilai, rencana pemerintah menambah penerbitan surat utang atau prefunding di akhir tahun juga berpotensi mengganggu harga SBN. "Ini bisa membuat yield meningkat karena investor tahu pemerintah membutuhkan dana," tutur dia.
Memang, sebelumnya pemerintah berencana prefunding sebesar Rp 40 triliun pada Desember tahun ini untuk membiayai kebutuhan dana di awal tahun depan. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan serapan prefunding akhir tahun lalu senilai Rp 64 triliun.
Meski masih rencana, Yudistira yakin hal itu bisa terwujud. "Pemerintah masih shortfall di penerimaan pajak," ungkap dia.
Tantangan prefunding
Tapi, analis Indonesia Bond Pricing Agency Nicodimus Anggi Kristiantoro justru agak ragu terkait rencana pemerintah melakukan prefunding. Dia mengakui pemerintah tengah menimbang seberapa besar peluang dan risikonya jika merilis surat utang di akhir tahun. "Kondisi pasar yang banyak terpengaruh sentimen global menjadi tantangan besar untuk prefunding," ujar dia.
Apalagi, pasar tengah menanti kebijakan Presiden terpilih AS hingga awal 2017, serta potensi volatilitas akibat rencana kenaikan bunga The Fed pada Desember nanti.
Dalam jangka pendek, Nicodimus memproyeksikan harga SBN berpotensi naik, mengingat dukungan fundamental ekonomi domestik yang baik seperti laju inflasi terkendali, surplus neraca perdagangan berlanjut, defisit neraca pembayaran menciut dan masih stabilnya rupiah.
"Namun, hal positif itu akan terus dibayangi kenaikan bunga The Fed serta perkembangan terbaru mengenai kebijakan presiden AS Donald Trump," prediksi dia.
Beben bilang, tekanan global memang tak dapat dipungkiri akan menekan pasar, karena sifatnya adalah risiko yang tak dapat dihilangkan. Namun, kondisi diramalkan akan lebih baik dengan potensi rebound yang relatif cepat setelah tekanan global mereda.
Apalagi, di kuartal empat ini kondisi ekonomi bisa lebih baik dibandingkan kuartal ketiga, dengan mempertimbangkan faktor musiman seperti Natal dan Tahun Baru.
Beben memprediksi yield SUN FR0056 di posisi 6,5% hingga 7,5% sampai akhir tahun ini. "Pergerakan yield tentu berbanding terbalik dengan harganya," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News