Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks LQ45 memegang gelar sebagai daftar kumpulan saham paling likuid di bursa efek Tanah Air. Sayangnya, kinerja indeks ini tampak terus tertinggal dari indeks lainnya, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Sejak awal tahun hingga Kamis (9/10/2025), indeks LQ45 tercatat melemah 4,43%. Angka ini kalah jauh dari kinerja indeks lain, misalnya IDX SMC Composite dan IDX SMC Liquid, yang masing-masing menguat 28,36% dan 12,28% YtD.
Bahkan bila dibandingkan dengan indeks gabungan, LQ45 masih jauh dari unggul. Mengingat, IHSG telah menguat 15,18% sepanjang tahun ini.
Menurut Analis Panin Sekuritas, Cliff Nathaniel, laju indeks LQ45 tengah dibebani oleh emiten-emiten perbankan imbas ketatnya likuiditas dan daya beli masyarakat yang relatif lemah. Kondisi likuiditas yang ketat ini turut meningkatkan biaya dana atau cost of fund (CoF) perbankan.
Baca Juga: IHSG Berpeluang Lanjut Menguat, Cek Rekomendasi Saham Pilihan untuk Besok (10/10)
“Sehingga, menekan NIM (margin bunga bersih) dan profitabilitas perbankan hingga saat ini,” ujar Cliff kepada Kontan, Kamis (9/10/2025).
Kontan mencermati, inevestor asing memang doyan melego saham perbankan besar. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) misalnya.
Tercatat, asing masing-masing sudah melepas saham BBCA sebesar Rp 30,97 triliun, BMRI senilai Rp 17,02 triliun, BBNI sebesar Rp 4,46 triliun, dan BBRI Rp sebesar 1,43 triliun sejak awal tahun.
Kepala Riset Korea Investment and Sekuritas Indonesia (KISI) Muhammad Wafi mengatakan, saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) ikut menahan laju indeks LQ45, sebab gerak sahamnya cukup stagnan akibat pertumbuhan bisnis keduanya yang melambat dan adanya tekanan kompetisi.
“Jadi bisa dibilang, sektor keuangan dan konsumer yang biasanya jadi motor LQ45 lagi kehilangan momentum di tengah rotasi investor ke saham siklikal dan mid-cap,” ucapnya.
Managing Director Research & Digital Production Samuel Sekuritas Indonesia Harry Su juga sepakat dengan hal itu.
Dia melihat, investor kini lebih menggandrungi saham lapis dua, seperti PT DCI Indonesia Tbk (DCII), PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA), PT Barito Pacific Tbk (BRPT), PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA), dan PT Multipolar Technology Tbk (MLPT).
Kelima saham ini pula yang menurut Harry menjadi penopang laju IHSG sehingga melesat lebih dulu dari indeks LQ45.
Baca Juga: IHSG Berpotensi Pullback Jangka Pendek, Intip Saham Pilihannya
“Menurut perhitungan kami, tanpa kelima saham tersebut, IHSG masih berada di level sekitar 7.270, turun sekitar 11% dari posisi saat ini,” ujar Harry.
Melihat ke depan, aksi jual asing menurut Harry masih akan berlanjut di sektor perbankan akibat pelemahan rupiah dan kinerja 8 bulan pertama mereka tahun ini. “Result 8M25 perbankan belum menunjukan perbaikan di margin bunga (net interest margin/NIM),” ujar Harry.
Tak cuma pada saham perbankan, Wafi menyebut, tekanan asing juga masih dapat berlanjut ke sektor lain bila dolar Amerika Serikat terus menguat dan rotasi investor ke saham lapis kedua terus berlanjut.
Kendati demikian, investor menurut Wafi masih bisa berharap akan potensi terjadinya aksi window dressing dan melorotnya yield obligasi. Sentimen positif lain juga bisa datang dari pelonggaran moneter domestik dan laporan kinerja keuangan emiten kuartal III yang ditaksir mulai stabil.
Harry menambahkan, saham sektor komoditas emas juga masih dapat diandalkan seiring terus pecahnya rekor harga emas. “Kami melihat saham-saham gold-related masih akan menguat seperti BRMS dan ARCI,” imbuh Harry.
Cliff juga menimpali, saham perbankan masih cukup atraktif ditunjang sejumlah faktor.
Salah satunya, rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hendak menaikkan free float saham menjadi minimal 30% secara bertahap. Hal ini dilihat Cliff akan membuat investor berfikir beralih ke saham perbankan atau emiten berfundamental kuat.
Baca Juga: Tak Percaya Proyeksi Asing, Pemerintah Optimistis Ekonomi RI Tumbuh 5,2% pada 2025
Selain itu, tadi pagi, Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa bersama kedua wakil menterinya telah menggelar rapat dengan fokus pada berbagai program strategis pemerintah terkait ekosistem keuangan dan kondisi perbankan di Indonesia. Hal ini dinilai Cliff akan menjadi angin segar bagi ekosistem perbankan Tanah Air
“Pemerintah juga kelihatannya cukup optimistis mengenai ekonomi Indonesia dan meragukan ramalan bank dunia yang hanya tumbuh 4,8%,” imbuh Cliff.
Di sisi lain, optimisme akan injeksi dana Rp 200 triliun terhadap bank pelat merah juga memberikan harapan penguatan daya beli yang dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi di sisa tahun ini.
Cliff juga melihat, penyaluran kredit dari penempatan dana tersebut juga berjalan cukup lancar, di mana BMRI sudah berhasil menyalurkan 70% dan BBRI sekitar 60-65%. Ditambah, pemerintah juga berencana menempatkan saldo anggaran lebih (SAL) ke sejumlah bank daerah dengan total Rp 20 triliun.
Di tengah berbagai sentimen ini, Harry menempatkan BBCA, TLKM, ICBP, AMRT, dan JPFA sebagai pilihan utama, mengingat mereka cenderung defensif, berfundamental kuat, dan berpotensi memberi kontribusi pada pergerakan IHSG di tengah volatilitas saham laggard.
Masing-masing target harga yang dia pasang yakni Rp 9.600, Rp 3.900, Rp 12.800, Rp 3.000, dan Rp 2.000 per saham.
Pilihan Wafi juga tak jauh beda. Dia merekomendasikan beli saham BBCA, BMRI, TLKM, dan ASII karena valuasinya telah berada di bawah rata-rata harga historisnya. Target harganya masing-masing ialah Rp 9.000, Rp 6.000, Rp 3.600, dan Rp 6.200.
“Strateginya, akumulasi bertahap di saat koreksi dengan fokus ke saham-saham dengan fundamental solid dan potensi dividen tinggi,” tutupnya.
Selanjutnya: Bangun Ekonomi, GP Ansor Luncurkan Kampung Peternakan Ayam di 22.800 Desa
Menarik Dibaca: 6 Manfaat Kolagen untuk Rambut Sehat dan Kuat, Cari Tahu Yuk!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News