kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   -2.000   -0,13%
  • USD/IDR 15.874   6,00   0,04%
  • IDX 7.309   113,47   1,58%
  • KOMPAS100 1.121   16,19   1,47%
  • LQ45 892   15,10   1,72%
  • ISSI 222   1,61   0,73%
  • IDX30 458   9,73   2,17%
  • IDXHIDIV20 552   12,53   2,32%
  • IDX80 129   1,53   1,21%
  • IDXV30 137   2,25   1,67%
  • IDXQ30 152   3,21   2,15%

Intip Saham Pilihan Analis di Tengah Menghangatnya Konflik di Timur Tengah


Selasa, 23 April 2024 / 20:50 WIB
Intip Saham Pilihan Analis di Tengah Menghangatnya Konflik di Timur Tengah
ILUSTRASI. Papan digital perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (23/4/2024). Intip Saham Pilihan Analis di Tengah Menghangatnya Konflik di Timur Tengah.


Reporter: Shifa Nur Fadila | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meningkatnya ketegangan di Timur Tengah antara Iran dan Israel, telah memicu tekanan pada pasar saham global, termasuk pasar saham Indonesia.

Ketidakstabilan geopolitik ini menimbulkan risiko terhadap pasar di Indonesia, yang diperburuk oleh potensi dampak kenaikan harga minyak hingga US$100 per barel, arus keluar modal asing, dan depresiasi mata uang rupiah. 

Head Customer Literation and Education PT Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, melihat untuk jangka pendek peningkatan ketegangan geopolitik membuat investor akan cenderung mengalihkan aset ke dalam risiko yang lebih rendah.

Menurutnya bahkan investor akan mengalihkan pada aset safe haven, seperti emas. 

Baca Juga: Harga Emas Meningkat di Tengah Ketegangan Konflik Timur Tengah dan Jelang FOMC

"Sehingga pada akhirnya investor keluar dari pasar saham di tengah ketidakpastian global dampak dari perang tersebut," jelas Oktavianus pada Kontan, Selasa (23/4).

Sedangkan jika dilihat dalam jangka lebih panjang, menurut Oktovianus jika perang ini berkelanjutan maka dampaknya akan jauh lebih besar terhadap perekonomian global, termasuk juga pasar saham.

Ia menjelaskan kenaikan harga komoditas akan tidak dapat dihindari yang pada akhirnya akan mendorong kenaikan inflasi yang lebih tinggi. 

"Tetapi jika skenarionya adalah tensi mulai mengendur dan juga tidak ada aliansi perang berkelanjutan maka kami meyakini pasar saham akan kembali pada ekuilibriumnya," ujarnya. 

Begitu pula dengan kinerja saham, Oktavianus menyebutkan saham dalam sektor kesehatan, teknologi, industrial dan keuangan mengalami penurunan yang dalam, efek dari tensi geopolitik di Timur Tengah.

Baca Juga: Menakar Prospek Saham MEDC, AKRA, Hingga PGAS Kala Konflik Timur Tengah Memanas

Meski demikian, menurutnya dengan kondisi saat ini sudah mulai mereda akan cenderung membuat saham-saham yang terdampak menjadi menarik secara valuasinya. 

"Terlebih juga di tahun ini akan mulai terjadi pelonggaran kebijakan moneter dari bank sentral yang menyebabkan saham-saham sektor cyclical berpotensi alami penguatan," ucapnya.

Sementara jika dilihat, emiten energi dengan pendapatan dalam USD Oktavianus memperkirakan akan mendapatkan sentimen positif seiring dengan potensi kenaikan harga komoditas.

Hal tersebut didorong oleh Iran yang termasuk dalam 10 produsen minyak mentah terbesar di dunia. Sehingga ia berpandangan peningkatan tensi yang berkelanjutan akan mendorong harga minyak mentah dunia. 

Baca Juga: Tekanan Konflik Timur Tengah Akan Pengaruhi Minat pada Lelang SUN, Selasa (16/1)

"Sedangkan untuk saham kategori cylical yang sensitif terhadap makro ekonomi akan alami kerugian seiring dengan ketidakpastian ekonomi," kata Oktavianus.  

Oktavinus menambahkan jika para pemimpin negara-negara tersebut dapat meredakan ketegangan tersebut ia melihat dampaknya hanya bersifat sementara atau jangka pendek.

Di sisi lain, ia mengatakan jika berlangsung dalam jangka panjang akan menurunkan daya beli masyarakat dan pada akhirnya menurunankan pendapatan emiten-emiten tersebut.

Sementara, Head of Institutional Research Sinarmas Sekuritas, Isfhan Helmy memprediksi dampak eskalasi konflik timur Tengah tidak begitu berpengaruh secara langsung terhadap bursa saham Indonesia. Menurutnya jika dilihat ketegangan di Timur Tengah tersebut tidak ada dampak langsung pada emiten.

"Contohnya ICBP itu kan juga ada penjualan di Timur Tengah tapi terjadi perang ini mereka tetap jualan, Indomienya tetap laku bukan berarti ada perang mereka tidak makan indomie, jadi kita melihat dari sisi konflik tidak ada pengaruh langsung pada emiten," ujar Isfhan. 

Jika bicara mengenai dampaknya pada emiten, menurut Isfhan emiten minyak memang sedikit mengalami kenaikan. Meski begitu Isfhan mengatakan di luar sentimen minyak dunia tersebut ia juga masih melihat kinerja perusahaannya seperti apa.

Baca Juga: Harga Minyak Berpotensi Naik Efek Terlibatnya AS-Inggris di Konflik Timur Tengah

"Seperti MEDCO itu saat ini cukup diuntungkan, selain itu kami juga lihat saham-saham emas seperti ANTM dan  MDKA itu juga cukup diuntungkan," jelasnya. 

Di sisi lain Head Of Fixed Income Research Sinarmas Sekuritas  Aryo Perbongso mengatakan dalam ketegangan konflik Timur Tengah ini menurutnya pemerintah dan Bank Indonesia menghadapi dilema dalam memilih antara kebijakan pro-pertumbuhan dan menstabilkan biaya fiskal untuk mengelola nilai Rupiah.

Menurutnya mempertahankan BI rate di tengah tantangan-tantangan ini dapat memberikan sinyal dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi namun dapat menyebabkan peningkatan biaya fiskal. 

"Koordinasi komprehensif antara BI dan pemerintah sangat penting untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah dan menerapkan kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan yang bersifat preemptive," ucap Aryo.

Aryo menilai dengan melihat nilai tukar saat ini, kemungkinan besar BI rate masih dapat dipertahankan pada April 2024, mengingat siklus pembayaran dividen yang masih berjalan.

Baca Juga: Vladimir Putin Angkat Bicara Soal Konflik Timur Tengah & Bencana Besar, Apa Katanya?

Oleh karena itu, ia mengatakan terdapat kekhawatiran bahwa kenaikan BI rate pada saat ini mungkin tidak akan memberikan efektivitas yang signifikan.

Menurutnya skenario yang memungkinkan bagi BI dan pemerintah untuk menstabilkan nilai Rupiah adalah dengan mempertahankan BI rate dan meningkatkan imbal hasil Surat Utang Negara (SBN). 

"Dengan dipertahankannya BI rate berarti mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan menaikkan suku bunga, meskipun hal ini dapat menyebabkan peningkatan biaya fiskal APBN karena imbal hasil SBN yang lebih tinggi,” ujarnya.

Dengan kondisi saat ini, masih ada sejumlah saham yang meranik untuk dikoleksi. Oktavianus merekomendasikan untuk buy pada saham PT Astra International Tbk (ASII)  dengan target harga Rp 6.450, buy pada PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) dengan tgarget harga Rp 6.400.

Baca Juga: Ada Konflik Timur Tengah, OJK Pastikan Pasar Modal Indonesia Masih Terjaga

Kemudian buy saham PT Siloam International Hospitals Tbk (SILO) dengan target harga Rp 2.870, buy PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dengan target harga Rp 6.650, dan buy PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) dengan target harga Rp 4.300.

Sedangkan Sinarmas Sekuritas merekomendasikan untuk mengoleksi sejumlah saham sebagai berikut:

1. ADD BMRI dengan target harga Rp 7.500

2. Buy BBC dengan target harga Rp 11.500

3. Buy BBNI dengan target harga Rp 6.475

4. Buy bbri dengan target harga Rp 6.300

5. Buy TLKM dengan target harga Rp 4.200

6. Buy ICBP dengan target harga Rp 12.750

7. Buy MYOR dengan target harga Rp 2.820

8. Buy AMRT dengan target harga Rp 3.250

9. Buy SIDO dengan target harga Rp 800

10. Buy ACES dengan target harga Rp 1.100

11. ADD KLBF dengan target harga Rp 1.600

12. Buy ASII dengan target harga Rp 6.000

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×