Reporter: Shifa Nur Fadila | Editor: Noverius Laoli
Di sisi lain, ia mengatakan jika berlangsung dalam jangka panjang akan menurunkan daya beli masyarakat dan pada akhirnya menurunankan pendapatan emiten-emiten tersebut.
Sementara, Head of Institutional Research Sinarmas Sekuritas, Isfhan Helmy memprediksi dampak eskalasi konflik timur Tengah tidak begitu berpengaruh secara langsung terhadap bursa saham Indonesia. Menurutnya jika dilihat ketegangan di Timur Tengah tersebut tidak ada dampak langsung pada emiten.
"Contohnya ICBP itu kan juga ada penjualan di Timur Tengah tapi terjadi perang ini mereka tetap jualan, Indomienya tetap laku bukan berarti ada perang mereka tidak makan indomie, jadi kita melihat dari sisi konflik tidak ada pengaruh langsung pada emiten," ujar Isfhan.
Jika bicara mengenai dampaknya pada emiten, menurut Isfhan emiten minyak memang sedikit mengalami kenaikan. Meski begitu Isfhan mengatakan di luar sentimen minyak dunia tersebut ia juga masih melihat kinerja perusahaannya seperti apa.
Baca Juga: Harga Minyak Berpotensi Naik Efek Terlibatnya AS-Inggris di Konflik Timur Tengah
"Seperti MEDCO itu saat ini cukup diuntungkan, selain itu kami juga lihat saham-saham emas seperti ANTM dan MDKA itu juga cukup diuntungkan," jelasnya.
Di sisi lain Head Of Fixed Income Research Sinarmas Sekuritas Aryo Perbongso mengatakan dalam ketegangan konflik Timur Tengah ini menurutnya pemerintah dan Bank Indonesia menghadapi dilema dalam memilih antara kebijakan pro-pertumbuhan dan menstabilkan biaya fiskal untuk mengelola nilai Rupiah.
Menurutnya mempertahankan BI rate di tengah tantangan-tantangan ini dapat memberikan sinyal dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi namun dapat menyebabkan peningkatan biaya fiskal.
"Koordinasi komprehensif antara BI dan pemerintah sangat penting untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah dan menerapkan kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan yang bersifat preemptive," ucap Aryo.
Aryo menilai dengan melihat nilai tukar saat ini, kemungkinan besar BI rate masih dapat dipertahankan pada April 2024, mengingat siklus pembayaran dividen yang masih berjalan.
Baca Juga: Vladimir Putin Angkat Bicara Soal Konflik Timur Tengah & Bencana Besar, Apa Katanya?
Oleh karena itu, ia mengatakan terdapat kekhawatiran bahwa kenaikan BI rate pada saat ini mungkin tidak akan memberikan efektivitas yang signifikan.