Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Rata-rata harga obligasi korporasi yang tercermin pada INDOBeX Corporate Clean Price per Jumat (18/9) naik 0,26% dibandingkan hari sebelumnya menjadi 102,30. Namun, ketimbang akhir tahun 2014, indeks tergerus 1,3%.
Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Anil Kumar menduga, harga Surat Utang Negara (SUN) yang kompak menguat juga menjadi sentimen positif bagi harga obligasi korporasi. Lihat saja rata-rata harga obligasi pemerintah pada INDOBeX Government Clean Price pada Jumat (18/9) yang terangkat 0,71% ketimbang hari sebelumnya. Namun secara year to date (ytd), indeks merosot 7,11%.
Penguatan tipis SUN akhir pekan lalu disebabkan oleh ditundanya rencana kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias Federal Reserve (The Fed) akibat perlambatan ekonomi global. Keputusan tersebut dibuat pada Rapat Dewan Gubernur Bank AS (FOMC Meeting) pada 16 September 2015 – 17 September 2015 silam.
“Sebelum pertemuan pekan lalu, investor jual surat utang dalam negeri. Setelah pertemuan selesai, investor melakukan aksi short covering,” tukasnya.
Peristiwa tersebut mengangkat kinerja rupiah. Di pasar spot, Jumat (18/9) nilai tukar rupiah terhadap USD menguat 0,59% di level Rp 14.374 dibanding hari sebelumnya.
Sepanjang tahun ini, Analis Millenium Capital Management Desmon Silitonga menjelaskan, harga obligasi korporasi cenderung tertekan akibat terkoreksinya harga Surat Utang Negara (SUN). Tertekannya SUN merupakan imbas dari pelemahan rupiah dan spekulasi kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed yang mengintai pasar surat utang.
Namun, ada beberapa faktor yang menyebabkan turunnya harga obligasi korporasi tidak sedalam SUN. Pertama, mayoritas investor obligasi korporasi berasal dari domestik. Berbeda dengan pasar SUN yang didominasi oleh investor asing.
Situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, per 16 September 2015, kepemilikan investor asing di Surat Berharga Negara (SBN) yang dapat diperdagangkan mencapai Rp 528,44 triliun atau 37,79% dari outstanding Rp 1.398,32 triliun.
Investor luar negeri memang lebih reaktif terhadap pelemahan kinerja mata uang Garuda karena takut merugi saat mengonversikan hasil transaksinya dari rupiah menjadi dollar AS.
“Sedangkan investor obligasi korporasi kebanyakan dari dalam negeri seperti dana pensiun, manajer investasi, atau asuransi. Mereka beli dan jual dalam rupiah, sehingga tidak terpapar risiko kurs,” jelasnya.
Kedua, outstanding obligasi korporasi di pasar sekunder tidak sebesar SUN. Mayoritas investor obligasi korporasi menggenggam instrumen ini hingga jatuh tempo alias hold to maturity. Walhasil, likuiditas yang lebih rendah menyebabkan volatilitas pasar surat utang emiten juga lebih minim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News