Reporter: Namira Daufina | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Harga minyak mentah masih merangkak di bawah level US$ 50 per barel. Tekanan terbesar saat ini datang dari rilis data stok minyak mentah di Amerika Serikat yang terus melambung menciptakan rekor baru. Harapan minyak mentah untuk kembali terbang semakin menipis.
Mengutip Bloomberg, Kamis (12/2) pukul 15.17 WIB kontrak West Texas Intermediate (WTI) pengiriman bulan Maret 2015 di New York Merchantile Exchange naik 2% ke level US$ 49,83 per barel dibanding penutupan hari sebelumnya. Tapi dalam sepekan terakhir harga minyak tetap merunduk 1,3%.
Pada Rabu (11/2), AS merilis data cadangan minyak mingguan yang naik menjadi 4,9 juta barel. Padahal pasar hanya memprediksi 3,7 juta barel. Memang dibanding minggu sebelumnya, cadangan minyak AS ini sudah menipis dari 6,3 juta barel.
Cadangan minyak di AS meningkat sepanjang lima minggu terakhir yang menyebabkan ini menjadi cadangan tertinggi sejak Agustus 1982. Produksi pun naik 49.000 barel per hari menjadi 9,23 juta barel per harinya. Data ini didapat dari pengeboran baik horizontal dan hidrolik yang dilakukan oleh kilang minyak sepanjang Texas hingga Dakota Utara.
Faisyal, Analis PT Monex Investindo Futures memaparkan bahwa secara grafik saat ini pergerakan harga minyak mentah belum tergolong mengalami penguatan. Kenaikan tipis ini masih terhitung bergerak sideways.
“Ada spekulasi kenaikan permintaan yang dihembuskan oleh Arab sehingga sedikit mendorong minyak,” tambah Faisyal. Seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (12/2) Menteri Minyak Arab Saudi, Ali Al-Naimi menyatakan bahwa permintaan minyak mentah mengindikasikan adanya peningkatan jika dilakukan kestabilan harga. Al-Naimi menduga permintaan minyak tahun ini bisa naik 1% atau di atas permintaan tahun lalu yang hanya 0,7%.
Al Naimi melakukan diskusi dengan Menteri Kehakiman Aljazair, Al-Tayeb Louh pada pertemuan di Riyadh Rabu (11/2) mengenai perkembangan relatif yang akan dilakukan di pasar. Bahwa penting ada kerja sama baik di sisi peningkatan permintaan dan stabilitas harga yang dilakukan antar produsen OPEC.
Ini dalam menindaklanjuti terjadinya kelebihan produksi yang terjadi di 12 negara OPEC pada Januari 2015. Ke dua belas negara anggota OPEC yang memegang 40% produksi minyak memproduksi 30,9 juta barel per hari di Januari 2015 ini melebihi target harian selama delapan bulan.
Menurut Faisyal, saat ini belum mampunya harga minyak mentah kembali terbang memang karena tekanan dari data cadangan minyak AS sangat besar. Dari data yang dirilis oleh Energy Information Administration AS terlihat bahwa tidak hanya cadangan yang meningkat tapi juga produksi harian yang terus melesat.
“Kenaikan ini tipis dan sementara,” tambah Faisyal. Yang mana menurutnya baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, harga minyak masih bearish dan belum memiliki dorongan untuk kembali meningkat.
Tekanan tidak hanya datang dari AS dan OPEC tapi juga dari buruknya perekonomian China yang menyebabkan permintaan berkurang signifikan. “Eropa pun belum selesai dengan gejolaknya terutama dalam menangani Yunani,” papar Faisyal.
Sehingga Jumat nanti Faisyal menduga selagi harga belum mampu menembus level US$ 50,70 per barel maka peluang minyak untuk bullish belum akan terbuka. Sebaliknya jika harga merosot di bawah US$ 48,25 per barel peluang bearish minyak sudah jelas. “Tetap flat dengan kecendrungan melemah,” kata Faisyal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News