Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketatnya pasokan membawa harga minyak dunia terus terbang. Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya Rusia tidak main-main untuk menyetir harga minyak ke level US$100 per barel di tahun ini.
Minyak mentah berjangka WTI naik di atas US$ 91 per barel pada hari Rabu (27/9). Harga minyak mentah Brent pun sempat menembus di atas US$ 95 per barrel untuk pertama kalinya dalam hampir setahun. Sejak Juni 2023, harga minyak sekarang naik lebih dari 25%.
Founder Traderindo.com Wahyu Triwibowo Laksono melihat, lonjakan harga minyak karena negara anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia terus getol memangkas produksi minyak mentah. OPEC telah membuktikan beberapa kali selama tiga tahun terakhir bahwa mereka berkomitmen untuk harga minyak yang lebih tinggi.
Dan bahkan Arab Saudi maupun Rusia telah memperpanjang pemotongan produksi 1,3 juta barel per hari secara sukarela hingga akhir tahun 2023, sehingga pasokan diperkirakan akan tetap terbatas untuk sementara waktu.
Baca Juga: Pengiriman Batubara dan Nikel Sibuk, Seluruh Kapal Trans Power Marine Terutilisasi
“Walaupun inflasi beranjak turun, wacana menggiring harga minyak menuju level US$100 per barel kembali muncul,” jelas Wahyu saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (27/9).
Wahyu melihat, permintaan global justru menguat di saat Amerika Serikat (AS) secara agresif berupaya untuk mengisi ulang cadangan minyak mereka yang saat ini berada di 40 tahun terendah.
Kekhawatiran investor terhadap pengetatan pasokan di pusat penyimpanan Cushing, Oklahoma, Amerika Serikat turut mendukung harga minyak. Stok minyak mentah di Cushing berada pada titik terendah dalam 14 bulan terakhir karena kuatnya permintaan penyulingan dan ekspor.
Sehingga memicu kekhawatiran mengenai kualitas minyak yang tersisa dan potensi penurunan di bawah tingkat operasi minimum.
Wahyu menilai, kondisi saat ini menguntungkan harga minyak. Di mana pengurangan suplai oleh OPEC dan Rusia didukung oleh perekonomian AS yang cukup bagus, serta China walaupun perekonomian melambat tapi tetap mendukung stimulus.
Harga komoditas secara umum dinilai masih bertahan bahkan ada yang menguat. Komoditas yang melemah utamanya yang berkaitan dengan risiko seperti emas dan perak.
“Ini justru alasan mengapa inflasi menguat karena harga komoditas sulit turun,” imbuh Wahyu.
Baca Juga: Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Disokong Royalti dari Batubara
Dalam jangka pendek dan menengah, komoditas masih sangat potensial seiring ekonomi AS yang masih jauh dari resesi. Dan juga, China walaupun ekonominya melambat tapi justru mendorong harga komoditas dengan stimulus moneter dan fiskal.
Menurut Wahyu, kondisi ekonomi global yang masih kondusif bakal mendukung harga komoditas termasuk minyak dunia untuk terus naik. Situasi ini ke depannya berpotensi memicu inflasi dan dolar AS naik, lalu berpotensi adanya perubahan kebijakan suku bunga ketat Fed.
Minyak dunia dinilai tak gentar dengan adanya potensi kenaikan suku bunga di pertemuan The Fed selanjutnya. Sebab, apabila dolar AS terus naik dan suku bunga Fed tinggi, maka akan berakibat pada ekonomi Amerika Serikat yang nantinya dipaksa ataupun terpaksa melemah dalam skala tertentu.
Pada akhirnya, kebijakan moneter lebih longgar bakal membuat dolar AS melemah sehingga di saat bersamaan positif bagi prospek komoditas. Di samping itu, permintaan komoditas terutama minyak berpotensi didukung stimulus ekonomi AS apabila kondisi suku bunga tinggi membahayakan.
Sementara itu, China akan selalu pro stimulus dan tidak mungkin membiarkan ekonominya terganggu. Sehingga variabel China secara langsung atau tidak cenderung mendukung harga komoditas untuk naik.
Walaupun demikian, Wahyu berujar, tetap waspadai tak terbendungnya kenaikan harga dolar AS yang bisa membebani ekonomi global semakin terancam. Pada akhirnya, situasi tersebut bakal berimplikasi pada koreksi harga minyak dunia akibat krisis ekonomi global yang melemahkan permintaan.
Wahyu memperkirakan harga minyak dunia WTI akan berkisar pada US$ 80 per barel – US$ 100 per barel di akhir tahun. Dalam jangka menengah, kisaran harga wajar minyak dunia akan menyentuh di rentang US$ 85 per barel – US$ 90 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News