Reporter: Andy Dwijayanto, Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Harga minyak mentah yang mulai memanas berpotensi memompa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Meski, kemarin IHSG ditutup menyusut 0,4% menuju 4.916,06. Saham konsumer, properti, tambang, manufaktur, perdagangan dan infrastruktur kompak memerah.
Harga minyak mentah WTI kontrak pengiriman Juli 2016 di bursa New York, hingga tadi malam pukul 21:10 WIB sudah menembus US$ 51,21 per barel. Ini adalah posisi terkuat harga minyak selama delapan bulan terakhir.
Kepala Riset Yuanta Securities Indonesia, Kim Kwie Sjamsudin menilai, laju harga minyak bisa mengerek IHSG, asalkan kenaikannya tidak drastis. Jika kenaikan harga minyak tinggi, justru tak bagus bagi ekonomi Indonesia karena berefek ke inflasi.
"Jika inflasi tinggi, bisa saja pemerintah mengembalikan subsidi BBM," ungkap dia.
Batas ideal kenaikan harga minyak bagi pergerakan indeks saham, menurut Kim, adalah di level US$ 50 hingga US$ 60 per barel. Prospek emiten komoditas bisa membaik, sementara di sisi lain rentang harga itu tidak memicu inflasi.
Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat berpendapat, kenaikan harga minyak saat ini hanya mendorong indeks dalam jangka pendek. Efek sesungguhnya baru terasa pada awal kuartal ketiga. "Secara historikal, efek harga minyak masih relatif kecil terhadap IHSG," ujar dia.
Secara fundamental, Teguh bilang, semakin rendah harga minyak justru bagus bagi ekonomi Indonesia. Ini lantaran harga BBM akan turun dan pemerintah tidak perlu menggelontorkan subsidi sehingga pembangunan berjalan lancar.
Harga minyak di level US$ 50 per barel adalah angka psikologis dan minyak akan bertahan lama di level ini dalam jangka menengah.
Kepala Riset Universal Broker Indonesia, Satrio Utomo melihat, kenaikan harga minyak saat ini masih positif bagi sektor komoditas dan perekonomian. Risiko mungkin akan muncul ketika harga minyak di atas US$ 60 per barel. Sebab, kondisi itu akan menimbulkan kecemasan terhadap kenaikan harga BBM.
Minyak memang bukan satu-satunya faktor penentu arah pasar. Data ekonomi domestik justru menjadi pemberat laju IHSG saat ini. Kabar terhangat, target pertumbuhan ekonomi tahun ini melorot menjadi 5,2% dari semula 5,3%.
Di sisi lain, proyeksi versi Bank Indonesia lebih rendah lagi, yakni 5%-5,2%. Para investor wait and see mencermati kebijakan pemerintah dalam menghadapi kondisi terkini perekonomian. Apalagi, lembaga pemeringkat S&P tak kunjung mengerek peringkat utang Indonesia ke investment grade.
Pelaku pasar kini berharap pada kebijakan tax amnesty. "Jika ini terwujud, IHSG bisa ke 5.000," prediksi Kim.
Satrio juga memproyeksikan dalam jangka menengah IHSG berpotensi menyentuh level 5.078 atau 5.100-5.200. Estimasi itu juga melihat langkah The Fed dan sentimen global lainnya. "Saya optimistis level tertinggi IHSG pada tahun ini 5.400 hingga 5.500. Sejauh ini IHSG masih on track," tutur Satrio.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News