Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga logam industri meliputi aluminium, timah, dan nikel masih tertekan. Analis menilai penurunan harga ini terbilang wajar mengingat kondisi ekonomi global belum stabil.
Berdasarkan data tradingeconomics, hingga Kamis (11/5) harga aluminiumbercokol di level US$ 2.252/ton atau turun 1,52% dalam sepekan. Lalu harga timah tercatat koreksi 3,48% ke US$ 25.846/ton dan nikel ambles 9,07% ke US$ 22.449/ton.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan bahwa tertekannya harga logam industri ini salah satunya karena terhambatnya pasokan. Hal tersebut disebabkan kurangnya eksplorasi lantaran minimnya belanja modal untuk genjot produksi.
"Apalagi, harga logam industri saat ini masih terlampau mahal," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (11/5).
Baca Juga: Produksi Terus Meningkat, Harga Aluminium dan Nikel Dalam Tren Penurunan
Menurutnya, harga normal untuk aluminium di level US$ 700 - US$ 800/ton. Kemudian timah pada level US$ 16.000 - US$ 17.000/ton dan nikel US$ 14.000 - US$ 16.000/ton.
Dia memprediksi, harga logam industri akan kembali ke harga normal tersebut dalam jangka panjang. Perkiraannya pada 2025 mendatang seiring stabilnya ekonomi global.
Namun untuk jangka pendek masih akan volatil karena kondisi ekonomi global belum stabil. Sampai akhir tahun, Ibrahim menilai harga aluminiumdi US$ 1.900 - US$ 2.200/ton dengan fluktuasi yang cukup tinggi. Lalu timah di US$ 20.000 - US$ 26.000/ton dan nikel kemungkinan besar masih akan menjadi primadona pada level US$ 19.000 - US$ 27.000/ton.
Di sisi lain, penurunan harga komoditas ini juga dipengaruhi dari penurunan data ekspor impor Tiongkok. Sebagai pengingat, impor Tiongkok tercatat turun 7,9% secara tahunan (YoY) pada April, lebih dalam dibandingkan kontraksi 1,4% pada bulan sebelumnya.
Data Bea dan Cukai China juga mencatat ekspor tumbuh 8,5% YoY. Meskipun tumbuh, tetapi angkanya berkurang dari 14,8% pada Maret lalu.
"Data itu turun mempengaruhi permintaan karena Tiongkok salah satu negara importir komoditas tambang terbesar di dunia," jelasnya.
Founder Traderindo.com Wahyu Triwibowo Laksono mengamini bahwa turunnya harga logam industri dipengaruhi dari lemahnya permintaan. Lemahnya permintaan disebabkan oleh kondisi ekonomi global terancam resesi global yang dilihat dari ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang melemah.
Sentimen lainnya juga datang dari isu pandemi. Pasar menunggu Tiongkok untuk mencabut kebijakan nol-Covid untuk memicu reli komoditas berbasis luas.
Baca Juga: Pasokan Ketat, Harga Tembaga Juga Turun di Bawah US$ 3,8 Per Pon
Menurut Wahyu, langkah tersebut dapat memicu siklus bull pada komoditas terutama logam industri dan energi yang telah mengalami investasi rendah dalam beberapa tahun terakhir dan periode lag yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan permintaan pasokan.
"Jadi di 2023, komoditas masih terancam koreksi signifikan oleh ancaman resesi," jelasnya.
Lebih spesifik, Wahyu memaparkan dari sejumlah logam industri, outlook nikel lebih baik. Menurutnya, prospek nikel untuk jangka menengah panjang masih berpotensi naik. Permintaan produk nikel di China telah meningkat dan terus memenuhi pasokan yang ketat dari sisi pasokan.
"Harga di bursa komoditas Asia SHFE juga telah stabil dan harga nikel di LME Eropa telah naik menjadi lebih dari $24.000/ton belakangan ini," paparnya.
Wahyu berpendapat, harga terendah nikel di level US$ 15.000/ton. Namun, peluangnya kecil. Menurutnya, hingga akhir tahun harga nikel akan bergerak di US$ 22.000 - US$ 25.000/ton.
Lalu untuk aluminium diperkirakan permintaan baru akan meningkat di semester II 2023. Pertumbuhan akan didorong dari kenaikan permintaan di sektor otomotif dan pengemasan. Ia pun memperkirakan harga aluminium pada level US$ 2.000 - US$ 3.300/ton.
Kemudian untuk timah penghambat harganya dari pasokan yang berlebih. Permintaan yang lesu juga menjadi masalah bagi pasar timah, terutama karena penjualan barang elektronik konsumen melambat di lingkungan resesi.
"Selain itu ketersediaan pengganti seperti aluminium dan baja bebas timah untuk memproduksi produk logam seperti kontainer menghambat pertumbuhan pasar," jelasnya.
Wahyu memprediksi harga timah akan berkisar di US$ 15.000 - US$ 45.000/ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News