Reporter: Nur Qolbi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasokan tembaga dalam beberapa tahun mendatang berpotensi lebih sedikit ketimbang permintaannya. Prediksi ini memperhitungkan kemungkinan proyek brownfield dan perpanjangan umur tambang yang ada, belum termasuk komitmen proyek baru ke depan.
Perusahaan riset dan konsultasi global Wood Mackenzie memprediksi, dalam skenario transisi energi yang dipercepat, permintaan tembaga utama bakal tumbuh sekitar 2% per tahun selama 2023-2025.
Proyeksi ini dengan asumsi produksi olahan dari sumber daya sekunder naik sekitar 3,6% per tahun selama 2022-2025.
Kurangnya investasi terhadap tembaga dalam satu dekade terakhir juga berpotensi mengganggu pasokan komoditas logam ini. Padahal, tembaga menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang banyak digunakan dalam pengembangan kendaraan listrik dan infrastruktur pembangkit listrik.
Baca Juga: Pasokan Tembaga Berpotensi Lebih Rendah Daripada Permintaan, Simak Prospek Harganya
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, pada tahun ini, permasalahan tembaga bukan hanya pada pasokannya yang ketat, tetapi juga permintaan yang rendah.
Harga tembaga berjangka turun ke bawah US$ 3,8 per pon pada 11 Mei 2023, terendah dalam empat bulan terakhir.
Data ekonomi menunjukkan, pembukaan kembali ekonomi China tidak memenuhi ekspektasi. Hal tersebut terlihat dari aktivitas manufaktur China yang secara tak terduga menyusut pada bulan April 2023.
Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China turun ke 49,2 pada April 2023, dari 51,9 pada bulan sebelumnya. Angka di bawah 50 menunjukkan bahwa manufaktur China dalam posisi kontraksi.
Baca Juga: Mengembangkan Produk Lokal Jadi Kebanggaan Nasional
"Akibatnya, permintaan industri yang rendah mendorong ekonomi terbesar kedua di dunia itu untuk mengimpor 407.294 ton tembaga selama periode tersebut atau merosot 12,5% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya," tutur Sutopo saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (11/5).
Namun, pasokan yang terbatas membuat harga tembaga melayang sedikit lebih tinggi pada basis tahunan dan secara signifikan mengungguli logam dasar lainnya. Persediaan tembaga di Shanghai Futures Exchange turun hingga di bawah 135.000 ton, terendah tahun ini.
Lalu, persediaan di London Metal Exchange tercatat di bawah 60.000 ton atau terendah sejak 2005. Selain itu, Chili selaku negara penghasil tembaga terbesar di dunia memperkirakan output tahun ini turun 7%, sedikit lebih rendah dari penurunan output tahun 2022 yang sebesar 10,6%.
Baca Juga: Untuk Bangun Smelter dan Bisnis Pendukung, Amman Mineral Anggarkan Capex US$ 3 Miliar
Untuk akhir tahun 2023, Sutopo memperkirakan harga tembaga akan berada di sekitar US$ 3,54 per pon. Harga tersebut sedikit lebih rendah dari harga penutupan tembaga tahun 2022 yang berada di US$ 3,79 per pon.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News