Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan harga komoditas energi terus tertekan sebulan terakhir. Dolar Amerika Serikat (AS) yang kuat, tensi geopolitik yang melandai menjadi sejumlah faktor penekan.
Berdasarkan Trading Economics, harga minyak turun 8,76% secara bulanan ke US$ 71,80 per barel pada Jumat (14/2) pukul 19.51 WIB. Harga gas alam juga turun 8,09% ke US$ 3,74 per MMBtu, lalu batubara turun 9,62% ke US$ 104,3 per ton.
Pengamat komoditas dan Founder Traderindo.com, Wahyu Tribowo Laksono menerangkan penurunan harga minyak akibat kebijakan energi Presiden AS, Donald Trump yang pro suplai, termasuk meningkatkan produksi bahan bakar fosil dan membatalkan larangan pengeboran lepas pantai.
Lalu, faktor global seperti dolar AS yang kuat sehingga memicu pergeseran kebijakan moneter Fed yang mengurangi skala besaran cut rate di tahun 2025. "Lalu, berkurangnya risiko geopolitik dengan terbaru Trump bahkan membuka perdamaian Rusia Ukraina," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (14/2).
Baca Juga: Menakar Peluang dan Risiko Saham Merdeka Copper Gold (MDKA), Ini Rekomendasi Analis
Untuk gas alam, penurunannya didorong prakiraan cuaca yang lebih hangat untuk akhir Januari, sehingga meredakan dampak ancaman cuaca dingin yang awalnya mendorong kenaikan harga spot. Kemudian, penurunan harga batubara didorong ancaman kelebihan pasokan, menyusul peningkatan suplai dari China.
Karenanya, Wahyu menilai dengan sentimen saat ini masih sulit mendukung bullish komoditas energi. "Jadi, harga minyak, gas alam, dan batubara akan cenderung konsolidatif," sebutnya.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo berpandangan bahwa prospek harga komoditas energi pada kuartal I 2025 menunjukkan kinerja yang beragam. I menerangkan, harga minyak diperkirakan akan tetap bergejolak karena ketegangan geopolitik dan gangguan pasokan.
Lalu, harga gas alam mengalami penurunan yang signifikan, didorong oleh persediaan yang tinggi dan kondisi cuaca yang sedang. Harga batubara diperkirakan akan tetap relatif stabil, dengan permintaan dari negara-negara berkembang seperti Tiongkok dan India yang mengimbangi penurunan di negara-negara maju.
Menurutnya, adapun sentimen yang dapat mendukung harga energi dari meningkatnya konflik di Timur Tengah dan gangguan di sektor penyulingan Rusia. Hal itu meningkatkan kekhawatiran tentang stabilitas pasokan minyak.
Pemulihan yang lebih kuat dari yang diantisipasi di sektor industri China juga dapat meningkatkan permintaan komoditas energi. "Meningkatnya permintaan pemanas selama bulan-bulan yang lebih dingin dapat menaikkan harga gas alam dan batubara," katanya.
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Menguat Hampir 2%, Kekhawatiran Perang Dagang Memanas
Di sisi negatif, meningkatnya tingkat persediaan gas alam dan batubara dapat menekan harga dengan menunjukkan surplus. Inovasi dalam ekstraksi dan produksi energi dapat meningkatkan pasokan, sehingga menekan harga.
"Sanksi yang diberlakukan pemerintah dan kebijakan perdagangan dapat memengaruhi harga komoditas dengan membatasi atau mengubah arus perdagangan," lanjutnya.
Karenanya, Sutopo memperkirakan harga minyak mentah di level US$ 73,60 per barel dan US$ 76,92 per barel dalam waktu yang lebih lama. Lalu, gas alam diperkirakan akan diperdagangkan pada US$ 3,17 per MMBtu pada akhir kuartal ini dan US$ 3,56 per MMBtu dalam waktu yang lebih lama. Kemudian batubara di US$ 118,28 per ton di kuartal ini dan US$ 122,51 dalam waktu yang lebih lama.
Sementara Wahyu memperkirakan harga minyak dengan rentang US$ 50 - US$ 90 per barel dengan pergerakan wajar di US$ 75 per barel. Gas alam direntang US$ 2,5 - US$ 5 per MMBtu dengan pergerakan wajar US$ 3,5 per MMBtu. Kemudian batubara di kisaran US$ 70 - US$ 200 per ton dengan pergerakan wajar di US$ 140 per ton.
Baca Juga: Saham Emiten Batubara Tertekan Penurunan Harga, Simak Rekomendasi Berikut Ini
Selanjutnya: Isu Gaji ASN Dipotong Akibat Efisiensi, Prabowo: Itu Tidak Benar
Menarik Dibaca: KAI Luncurkan KA Perintis Cut Meutia di Aceh, Tarif Rp 2.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News