kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.919.000   13.000   0,68%
  • USD/IDR 16.249   -5,00   -0,03%
  • IDX 7.047   42,07   0,60%
  • KOMPAS100 1.029   8,11   0,79%
  • LQ45 786   6,95   0,89%
  • ISSI 231   0,98   0,43%
  • IDX30 406   4,77   1,19%
  • IDXHIDIV20 470   5,25   1,13%
  • IDX80 116   1,04   0,90%
  • IDXV30 117   1,12   0,96%
  • IDXQ30 131   1,74   1,35%

Dana Ritel Naik Tajam, Aset Institusi Masih Tertekan, Bagaimana Prospek IHSG?


Kamis, 10 Juli 2025 / 06:32 WIB
Dana Ritel Naik Tajam, Aset Institusi Masih Tertekan, Bagaimana Prospek IHSG?
ILUSTRASI. IHSG Menguat Tipis-Suasana di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (8/7/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak tak menentu pada Selasa (8/7/2025). KONTAN/Cheppy A. Muchlis/08/07/2025


Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah tekanan tarif Amerika Serikat (AS) dan arus keluar dana asing, kinerja pasar saham Indonesia tampak tertinggal dibanding indeks saham kawasan Asia.

Hal ini seiring dengan penurunan aset investor institusi dan melonjaknya aset investor ritel. Lantas, bagaimana prospek IHSG ke depan?

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman mengungkapkan, terjadi lonjakan aset investor ritel hingga Rp 20 triliun sejak awal tahun hingga Mei 2025.

Kini, total aset investor ritel tercatat mencapai Rp 174 triliun.

Baca Juga: Asing Banyak Melego Saham-Saham Ini Saat IHSG Menguat Tiga Hari Beruntun

Sebaliknya, aset saham investor institusi seperti asuransi dan dana pensiun justru mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir, hingga Februari 2025.

Iman merinci, aset saham asuransi turun dari Rp 281 triliun pada 2022 menjadi Rp 211 triliun per Februari 2025.

Aset saham dana pensiun juga turun dari Rp 226 triliun menjadi Rp 204 triliun di periode yang sama.

Namun, pemulihan mulai terlihat dalam tiga bulan terakhir. Aset saham asuransi naik dari Rp 220 triliun pada Maret menjadi Rp 242 triliun pada Mei 2025. Aset dana pensiun juga meningkat dari Rp 215 triliun menjadi Rp 244 triliun.

“Suku bunga tinggi dalam tiga tahun terakhir menjadi salah satu faktor stagnasi atau penurunan nilai kepemilikan saham institusi,” kata Iman dalam rapat dengar pendapat, Selasa (8/7).

Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, penurunan kepemilikan institusi membuat peran investor domestik mengecil dan mempersempit ruang gerak IHSG.

Baca Juga: IHSG Menguat Tipis-Tipis, Net Sell Masih Deras, Berikut Rekomendasi Saham Hari Ini

Apalagi, investor asing juga tampak menarik dananya dari pasar saham.

“Ritel memang memberikan warna tersendiri bagi IHSG. Namun secara nominal masih terbatas, sehingga dibutuhkan jumlah yang jauh lebih besar untuk mengimbangi peran institusi dan asing,” ujar Nico kepada Kontan.co.id, Rabu (9/7).

Meski begitu, Nico melihat potensi masuknya capital inflow di semester II-2025 terbuka, seiring dengan harapan tercapainya kesepakatan tarif antara AS dan sejumlah negara.

Jika inflasi AS terkendali dan The Fed menurunkan suku bunga, maka peluang pemangkasan BI rate juga meningkat, memberi angin segar bagi ekonomi domestik.

Secara valuasi, berdasarkan data Bursa Efek Thailand (SET) per akhir Juni 2025, IHSG berada sedikit di atas rata-rata regional.

Saat bursa-bursa kawasan mencatat price to earnings (P/E) ratio 12,4–14,3 kali, IHSG tercatat 15,63 kali. Ini menunjukkan investor bersedia membayar lebih untuk saham-saham domestik.

Baca Juga: Prediksi IHSG dan Rekomendasi Saham Pilihan Analis untuk Kamis (10/7)

“Kalau dibilang tertinggal tidak juga. Justru Indonesia termasuk pasar yang menjanjikan, bersama negara-negara Asia 5,” terang Nico.

Namun, analis NH Korindo Sekuritas Steven Willie berbeda pandangan. Menurutnya, valuasi IHSG masih tergolong murah baik terhadap rata-rata historisnya sendiri maupun indeks-indeks utama di kawasan Asia.

Saat ini, P/E IHSG berada di level 15,5 kali, di bawah rata-rata dua tahun terakhir yang mencapai 17 kali. Artinya, secara teoritis, IHSG masih punya ruang naik ke level 7.341.

Jika dibandingkan enam indeks besar Asia seperti Nikkei 225 (18,4 kali), Shanghai Composite (17,1 kali), dan Nifty 50 (24,7 kali) valuasi IHSG pun masih di bawah rata-rata kolektif yang sebesar 16,6 kali.

Hanya indeks Straits Times Singapura (12,5 kali) dan Hang Seng Hong Kong (11,6 kali) yang mencatat valuasi lebih rendah dari IHSG.

Menurut Steven, pelemahan rupiah sejak September 2024 menjadi salah satu faktor penekan, dipicu ekspektasi suku bunga tinggi dari The Fed dan ketidakpastian fiskal di dalam negeri, terutama soal pembiayaan program makan bergizi gratis.

Baca Juga: Intip Saham-Saham Favorit Asing di Tengah Reli IHSG Kemarin, Ada ASII dan TLKM

“Pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan program populis dengan disiplin fiskal. Pertanyaan muncul soal sumber pendanaan, efektivitas realokasi anggaran, hingga risiko pelebaran defisit,” ujar Steven.

Dari sisi eksternal, ketegangan geopolitik dan ancaman tarif AS turut mendorong capital outflow dari pasar negara berkembang.

Sentimen negatif diperparah aksi jual asing terhadap saham-saham perbankan besar, serta keraguan pasar terhadap tata kelola dan transparansi Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.

Kondisi ini membuat volatilitas pasar meningkat, terutama karena dominasi investor ritel yang cenderung reaktif.

“Minimnya sokongan institusi membuat IHSG lebih rentan terhadap guncangan global,” ujarnya.

Meski tekanan masih tinggi, Steven melihat peluang arus balik dana asing tetap terbuka pada semester II-2025, terutama jika The Fed mulai longgar, rupiah menguat, dan tensi global menurun.

Sektor teknologi dan barang konsumsi siklikal dinilai paling tertekan, sementara sektor defensif seperti utilitas publik, kesehatan, dan barang konsumsi primer diprediksi lebih stabil.

Baca Juga: Menakar Prospek IHSG di Antara Indeks Saham Bursa Asia

Steven memperkirakan, IHSG akan bergerak sideways di kisaran 6.900–7.300 hingga akhir 2025.

Strategi terbaik menurutnya adalah fokus pada saham-saham defensif dan undervalued seperti perbankan dan barang konsumsi primer.

“Manfaatkan koreksi pasar untuk akumulasi bertahap di saham berfundamental kuat dan dividen menarik,” pungkasnya.

Sementara itu, Nico merekomendasikan fokus pada sektor energi, kesehatan, eksplorasi, pengolahan, dan distribusi bahan mentah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×