Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Napas emiten BUMN Karya masih tersengal-sengal di tahun ini. Di mana, sejumlah emiten BUMN Karya masih mencari cara untuk pelunasan utang perusahaan.
Beberapa waktu ini, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dan PT PP Tbk (PTPP) telah melakukan pembayaran pokok sejumlah surat utang mereka.
PTPP telah melakukan pembayaran untuk dua surat utang yang jatuh tempo pada 22 April 2025. Yaitu, Obligasi Berkelanjutan III Tahap II tahun 2022 Seri A senilai Rp 140 miliar dan Sukuk Mudharabah Berkelanjutan I Tahap II Tahun 2022 Seri A senilai Rp 60 miliar.
“Di tahun 2025 ini PTPP telah melunasi seluruh kewajiban obligasi berkelanjutan dan sukuk mudharabah berkelanjutan yang telah jatuh tempo,” kata Sekretaris Perusahaan PTPP, Joko Raharjo kepada Kontan, Selasa (27/5).
Sementara, ADHI melakukan pembayaran pokok Obligasi Berkelanjutan III Tahap III Tahun 2022 Seri A senilai Rp 1,28 triliun yang jatuh tempo pada 24 Mei 2025.
Corporate Secretary ADHI Rozi Sparta menyatakan pemenuhan pembayaran obligasi ini merupakan bukti komitmen ADHI kepada para Pemegang Obligasi dalam melunasi surat hutang secara tepat waktu dan tepat jumlah.
Di sisi lain, PT Adhi Commuter Properti Tbk (ADCP) memilih memperpanjang utang jatuh tempo. Diketahui, ADCP mendapat persetujuan untuk memperpanjang jatuh tempo Obligasi Berkelanjutan II Adhi Commuter Properti Tahun 2022 Seri B senilai Rp 102 miliar, dari semula 24 Mei 2025 menjadi 24 Mei 2027.
Baca Juga: Anak Usaha BUMN Karya Cetak Kinerja Beragam, Begini Prospek dan Rekomendasi Sahamnya
Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) tersebut digelar pada 9 Mei 2025 dan dihadiri oleh pemegang obligasi yang mewakili 98,04% dari total nilai pokok, atau sekitar Rp 100 miliar.
Sekretaris Perusahaan ADCP Bayu Purwana menyatakan, perpanjangan tenor ini merupakan bagian dari strategi menjaga stabilitas keuangan perusahaan di tengah tantangan sektor properti dan dinamika pasar.
Di sisi lain, PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) kena suspensi saham dari Bursa Efek Indonesia (BEI) lantaran gagal bayar dua surat utang yang jatuh tempo pada 18 Februari 2025 lalu. Yaitu, Obligasi Berkelanjutan II Wijaya Karya Tahap II Tahun 2022 Seri A (WIKA02ACN2) dan Sukuk Mudharabah Berkelanjutan II Wijaya Karya Tahap II Tahun 2022 Seri A (SMWIKA02ACN2).
Pokok Obligasi Berkelanjutan II Wijaya Karya Tahap II Tahun 2022 sebesar Rp 1,75 triliun. Obligasi Seri A berjangka waktu tiga tahun, terhitung sejak tanggal 18 Februari, dalam jumlah sebesar Rp 593,95 miliar.
Sementara, pokok Sukuk Mudharabah Berkelanjutan II Wijaya Karya Tahap II Tahun 2022 sebesar Rp 750 miliar. Sukuk Seri A yang berjangka waktu tiga tahun terhitung sejak tanggal 18 Februari 2022, dalam jumlah sebesar Rp 412,90 miliar.
Corporate Secretary WIKA, Emin mengatakan, perseroan telah berhasil mencapai kuorum persetujuan untuk restrukturisasi Obligasi Berkelanjutan II Wijaya Karya Tahap II Tahun 2022 dalam Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) tanggal 21 April 2025.
Untuk Sukuk Mudharabah Berkelanjutan II Wijaya Karya Tahap II Tahun 2022, WIKA akan berkoordinasi dengan wali pemegang sukuk untuk dapat menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUPSU) lanjutan.
“Suspensi saham WIKA pun tak dipungkiri akan berdampak pada rating kredit perseroan yang akan ditinjau kembali apabila telah mencapai kesepakatan dalam RUPSU berikutnya,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (27/5).
Melansir laman Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), WIKA juga punya surat utang jatuh tempo di tanggal 18 Desember 2025 mendatang. Yaitu, Obligasi Berkelanjutan I WIKA Tahap I Tahun 2020 Seri A senilai Rp 231 miliar dan Seri B senilai Rp 429 miliar.
Baca Juga: Restrukturisasi BUMN Karya Bakal Telan Ratusan Triliun, Bagaimana Nasib Danantara?
WIKA pun tengah melakukan evaluasi atas dampak kebijakan efisiensi anggaran dan kondisi pasar terhadap kinerja operasi, keuangan, dan arus kas perseroan. “Hasil evaluasi ini akan mempengaruhi kemampuan perseroan dalam memenuhi kewajiban pada kuartal IV mendatang,” katanya.
Kondisi PT Waskita Karya Tbk (WSKT) juga masih belum bagus. Saham WSKT masih disuspensi lantaran ada satu seri obligasi non-penjamin belum mendapatkan persetujuan dari pemegang obligasi secara kuorum, yaitu Obligasi Berkelanjutan III Tahap IV Seri B Tahun 2019 dengan nilai outstanding sebesar Rp 1,3 triliun.
Suspensi saham WSKT pun sudah terjadi selama dua tahun, terhitug sejak 8 Mei 2023. Artinya, saham WSKT sudah masuk syarat untuk dilakukan delisting dari BEI.
Direktur Keuangan WSKT Wiwi Suprihatno mengatakan, Waskita Karya berkomitmen untuk tetap mencatatkan saham di BEI dan segera memenuhi syarat serta ketentuan pembukaan suspensi saham. Salah satunya adalah penyelesaian restrukturisasi 1 seri Obligasi Non Penjaminan melalui mekanisme RUPO.
WSKT pun berencana melakukan RUPO kembali pada bulan Juli 2025 mendatang dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan stakeholder kunci sebagai upaya penyelesaian restrukturisasi obligasi secara menyeluruh.
“WSKT terus berkomunikasi dengan BEI untuk memberikan update perkembangan terkait restrukturisasi yang dijalani,” katanya kepada Kontan, Selasa (27/5).
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI), Budi Frensidy melihat, kementerian terkait, seperti Kementerian BUMN, seharusnya bisa bertanggung jawab atas nasib investor publik WSKT yang sahamnya kena suspensi dan terancam delisting.
“Dengan menjual aset, WSKT sepertinya akan mampu membayar sebagian besar utangnya dengan asumsi dapat dijual pada nilai bukunya,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (27/5).
Analis Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan mengatakan, situasi BUMN Karya saat ini memang masih cukup kompleks. Pelunasan obligasi oleh ADHI dan PTPP menjadi sinyal positif yang menunjukkan adanya komitmen menjaga reputasi kredit dan stabilitas arus kas jangka pendek.
Namun, kondisi tersebut tidak serta merta berarti mereka sudah sepenuhnya aman. Sebab, secara struktural beban utang dan tekanan arus kas para emiten BUMN Karya masih tinggi. Apalagi, jika proyek yang dijalankan belum menghasilkan arus kas masuk yang cukup cepat.
“ADCP yang justru menggelar RUPO dan RUPSU untuk perpanjangan jatuh tempo juga jadi pengingat bahwa tekanan masih terasa di entitas anak BUMN Karya,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (27/5).
Terkait potensi delisting WSKT, maka dampaknya bagi pemegang saham publik cenderung berat. Sebab, ketika sebuah perusahaan delisting akibat potensi gagal bayar, skema penyelesaian aset biasanya mendahulukan kewajiban kepada kreditur terlebih dahulu. Lalu, baru pemegang saham preferen dan terakhir pemegang saham biasa-termasuk investor publik.
Artinya, kemungkinan terjadinya buyback dalam jumlah besar sangat kecil, karena prioritas utama perusahaan adalah menyelesaikan kewajiban utang. Pemegang saham publik pun berpotensi hanya bisa menjual sahamnya melalui mekanisme pasar negosiasi, dengan harga yang umumnya jauh di bawah harga pasar terakhir.
“Skenario ini menempatkan investor ritel dalam posisi yang kurang menguntungkan dari sisi likuiditas maupun valuasi,” katanya.
Analyst Kanaka Hita Solvera Andhika Cipta Labora melihat, apabila telah terjadi perpanjangan jatuh tempo surat utang seperti yang dilakukan ADCP, itu mengindikasikan bahwa emiten mengalami gangguan arus kas untuk membayar kewajibanya.
“Hal itu juga bisa membuat kinerja BUMN Karya semakin berat karena tingginya beban bunga,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (27/5).
Baca Juga: Menilik Prospek BUMN Karya yang Kinerjanya Kompak Melemah di Kuartal I 2025
Andhika mengatakan, kinerja emiten BUMN Karya tahun ini bisa sedikit membaik karena Bank Indonesia (BI) baru saja menurunkan suku bunga ke level 5,5%. Hal itu bisa berdampak terhadap turunnya beban bunga emiten BUMN Karya.
Namun, emiten BUMN Karya tetap menghadapi tantangan yang berat di tahun ini. Yaitu, efisiensi yang dilakukan pemerintah, sehingga terdapat pemangkasan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang bisa menurunkan penerimaan kontrak baru BUMN Karya.
Andhika merekomendasikan beli untuk PTPP dengan target harga Rp 490 per saham.
Ekky melihat, arus kas yang terbatas tentu berisiko menekan kinerja, karena ruang manuver untuk ekspansi atau penyelesaian proyek bisa terganggu. Dalam beberapa kasus, beban pembayaran utang justru bisa memangkas margin proyek dan memperlambat progres kerja.
“Terlebih, jika sebagian proyek bersifat turnkey dan pembayaran baru masuk setelah pekerjaan selesai,” katanya.
Alhasil, prospek kinerja emiten BUMN Karya pun beragam. ADHI dan PTPP memang bisa sedikit bernapas lega karena kewajiban jangka pendeknya sudah dituntaskan. Kalau dari laman KSEI, PTPP dan ADHI memang tidak punya surang utang jatuh tempo di sisa tahun 2025.
Namun, tantangannya sekarang adalah menjaga keberlanjutan proyek baru dan menjaga efisiensi. Penurunan BI rate tentu bisa jadi katalis positif bagi kinerja mereka, karena akan menurunkan beban bunga dalam jangka menengah.
“Tapi, efeknya tidak langsung terasa, terutama jika posisi utangnya mayoritas fixed rate,” ungkapnya.
Untuk pemegang saham WSKT yang tersangkut lantaran suspensi, disarankan untuk mencermati secara saksama perkembangan RUPS dan pengumuman resmi dari BEI atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait status sahamnya. Jika muncul potensi delisting, baik sukarela maupun forced delisting, sebaiknya investor bersiap mengambil keputusan cepat.
“Yaitu, apakah harus menjual di pasar reguler selagi masih ada volume perdagangan, atau bersiap menanggung risiko likuiditas apabila saham berpindah ke pasar negosiasi tanpa kejelasan exit strategy,” tuturnya.
Sementara, saham PTPP masih relatif lebih sehat, terutama dari sisi arus kas dan kemampuan menyelesaikan proyek. Ekky pun merekomendasikan beli untuk PTPP dengan target harga Rp 580 – Rp 600 per saham.
Baca Juga: Sentimen Buruk Masih Selimuti Prospek Kinerja Emiten BUMN Karya di Tahun Ini
“ADHI juga bisa dicermati dengan target harga Rp 350 per saham, namun tetap tergolong spekulatif,” paparnya.
Senior Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas mengatakan, utang yang besar dan arus kas ketat membuat emiten BUMN Karya rawan gagal bayar dan menghambat operasional.
Kinerja PTPP dan ADHI juga dianggap bisa sedikit bisa bernapas lega dalam jangka pendek. Sedangkan, jangka panjang harus dilihat lagi seperti apa strategi keduanya untuk mengatasi cash flow agar tetap terjaga dan bisa meningkatkan pertumbuhan kinerja.
“Penurunan suku bunga BI jadi angin segar bagi BUMN Karya, tapi pembayaran proyek yang lambat tetap jadi tantangan utama,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (27/5).
Sukarno pun merekomendasi hold untuk ADHI dan PTPP dengan target harga masing-masing di Rp 286 – Rp 300 per saham dan Rp 470 per saham. Patokan support ADHI ada di Rp 260 per saham dan Rp 252 per saham, sementara support untuk PTPP di Rp 436 per saham dan Rp 424 per saham.
Selanjutnya: Hari Ini, Rabu (28/5), Tenaga Penguatan IHSG Semakin Menipis
Menarik Dibaca: 20 Link Twibbon Hari Lanjut Usia Nasional 2025 Lengkap dengan Ucapan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News