Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selain untuk meraup cuan, berinvestasi juga bisa memberikan pelajaran dan pengalaman lain. Setyono Djuandi Darmono misalnya, yang berupaya agar hasil investasinya bisa terus memberikan manfaat bagi orang lain.
Direktur Utama PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) itu memilih menaruh dananya di aset-aset berjangka panjang, terutama di sektor riil.
Sejak muda, dia percaya bahwa investasi adalah jalan untuk menciptakan nilai jangka panjang.
Darmono lulus dari Akademi Tekstil Berdikari, Bandung, pada tahun 1970. Perjalanan kariernya dimulai di Imperial Chemical Industries (ICI) di bidang zat warna tekstil.
Di sana, dia belajar bagaimana perusahaan yang lahir di desa kecil Blackley, Manchester, pada tahun 1926 bisa berkembang menjadi raksasa dunia.
“Caranya, dengan membangun industri di desa-desa hingga memakmurkan masyarakat dan mengubahnya menjadi kota modern. Pengalaman itu sangat memengaruhi cara pandang saya,” kata Darmono kepada Kontan beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Jababeka (KIJA) Catat Kenaikan Kinerja pada Semester I 2025, Ini Faktor Pendorongnya
Selama bekerja di ICI sekitar 11 tahun, pria kelahiran tahun 1949 itu mengaku melihat bukti langsung bahwa investasi tak hanya mengejar untung. Tetapi juga kesempatan untuk mengubah hidup banyak orang.
“Tujuan saya berinvestasi bukan hanya mencari untung, tetapi menciptakan lapangan kerja dan manfaat bagi masyarakat,” ujarnya.
Belajar dari Lee Kuan Yew
Pada tahun 1982, Darmono pun mulai masuk ke bisnis properti. Lalu, pada 1989 dia membentuk konsorsium 21 pemegang saham untuk mendirikan Kawasan Industri Jababeka.
Dalam mendirikan KIJA, Darmono mengaku juga belajar dari Perdana Menteri Lee Kuan Yew yang terkenal karena berhasil membangun Singapura. “Konsep pendirian Jababeka adalah kota modern yang menyatukan industri, perumahan, pendidikan, dan kesehatan,” paparnya.
Dengan pengalaman dan pengetahuannya, pengusaha kelahiran Yogyakarta itu menjatuhkan pilihan aset investasi pertamanya di tanah dan properti sebagai bagian dari bisnisnya.
Alasannya sederhana, karena aset tersebut jumlahnya terbatas, tetapi selalu dibutuhkan. “Tanah tidak bisa diproduksi ulang, sementara kebutuhan manusia tidak pernah berhenti,” ungkapnya.
Seiring waktu berjalan, Darmono pun mulai diversifikasi portofolio investasinya. Tidak jauh sebenarnya, dia masih memilih sektor riil. Tapi, kali ini dia juga masuk ke bidang infrastruktur dan hospitality, pendidikan, dan pariwisata.
Diversifikasi tersebut dilakukan agar pembangunan tidak hanya berhenti di properti, tetapi menyentuh sektor lain yang saling menguatkan.
“Industri, infrastruktur, dan hospitality (pariwisata) saya lihat sebagai tiga pilar pembangunan yang saling menopang,” ungkapnya.
Darmono mengaku, pilihan aset investasinya saat ini telah memberikan banyak keuntungan. Termasuk pertumbuhan nilai aset dan jejaring global. Meskipun begitu, bukan berarti perjalanan investasinya tanpa tantangan.
Salah satu pengalaman yang sangat berdampak dalam perjalanan investasinya adalah krisis moneter pada tahun 1997-1998. Kondisi itu mau tak mau membuat Darmono harus mengerem laju realisasi dari investasinya.
“Krisis membuat saya sadar bahwa investasi adalah lari maraton, bukan sprint. Ini membuat saya lebih hati-hati dan disiplin,” tuturnya.
Baca Juga: Begini Prospek Kinerja Jababeka (KIJA) dan Rekomendasi Sahamnya
Hingga hari ini, investasi Darmono tetap fokus di sektor riil dengan porsi portofolionya sebesar 40% di properti, 40% di infrastruktur, dan 20% di hospitality (pendidikan dan pariwisata).
“Saya percaya sektor riil ini memberi dampak nyata bagi ekonomi dan masyarakat,” ungkapnya.
Dia meyakini bahwa investasi tidak untuk mengejar keuntungan dengan cepat. Sehingga, perlu bagi investor untuk memahami instrumen investasi yang dipilih, menyisihkan dana cadangan, dan melakukan diversifikasi.
“Investasi itu bukan spekulasi, tapi penciptaan nilai berkelanjutan,” paparnya.
Ke depan, Darmono mengaku masih berinvestasi di sektor riil dan akan menaruh perhatian pada bioteknologi, ekonomi digital, serta art & design sebagai pilar baru pengembangan Jababeka.
“Kalau Indonesia mau maju, kita harus berani melompat ke masa depan, bukan hanya mengejar ketertinggalan,” katanya.
Cinta Sejarah dan Menulis Buku
Pria 76 tahun ini mengaku senang membaca sejarah, menulis, berdiskusi, dan bermain golf. Darmono juga sempat memimpin program-program wisata dan pelestarian, termasuk situs Warisan Dunia UNESCO yaitu Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Istana Ratu Boko, serta revitalisasi Kota Tua Jakarta.
Sebagai Chairman PT TWC Borobudur Prambanan Ratu Boko (Persero), Darmono mempromosikan budaya Indonesia dan menginisiasi proyek digitalisasi Candi Borobudur.
Di bawah kepemimpinannya, digelar Sendratari Ramayana Prambanan dengan penari terbanyak di dunia yang berhasil masuk Guinness Book of World Record.
Selain bisnis, Darmono juga membangun President University dan aktif dalam Tidar Heritage Foundation. Alasannya karena Darmono percaya bahwa pendidikan adalah investasi terbesar dalam pembangunan.
“Bangunan megah itu bisa saja runtuh, tetapi manusia unggul akan terus melahirkan peradaban baru,” ungkapnya.
Baca Juga: Simak Strategi Jababeka (KIJA) Hadapi Tantangan Pasar di Semester II 2025
Semua perjalanan dan refleksi Darmono itu kemudian ditulis dan dirangkum dalam trilogi buku. Ketiga buku karya Darnomo itu berjudul “Think Big, Start Small, Move Fast”, “Building A Ship While Sailing”, dan “Bringing Civilization Together”.
“Semua pengalaman saya, dari membangun Jababeka sampai memikirkan masa depan bangsa, saya tulis dalam trilogi buku sebagai warisan gagasan,” imbuh Darmono.
Selanjutnya: Lewat TB Simatupang? Awas Macet, Jangan Nekat Bawa Mobil, Ini Alternatifnya!
Menarik Dibaca: Mister Potato Luncurkan Kampanye Jinjja Crunch di Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News