Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mayoritas emiten telah merilis laporan keuangan kuartal I-2024. Dari musim laporan kinerja kali ini, ada sejumlah emiten yang berhasil membalikkan rugi menjadi laba bersih.
Mereka datang dari beragam sektor dengan skala yang bervariasi. Sebagai contoh, tengok saja PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK). Induk Grup Emtek yang masuk dalam kategori sektor teknologi ini membalikkan rugi Rp 330,98 miliar menjadi laba Rp 259,39 miliar.
Selanjutnya ada emiten nikel PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) yang meraup keuntungan US$ 3,66 juta pada kuartal I-2024. Berbalik dari kerugian US$ 7 juta pada periode yang sama tahun lalu.
Emiten tambang emas PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) tak ketinggalan untuk memperbaiki kinerja. PSAB berbalik dari sebelumnya menderita rugi US$ 14,98 juta menjadi laba bersih US$ 2,23 juta.
Emiten batubara PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE) juga menyala. FIRE meraih laba bersih Rp 15,80 miliar, dibandingkan periode kuartal I-2023 yang kala itu menanggung kerugian Rp 10,78 miliar.
Baca Juga: Kinerja Emiten Otomotif Diproyeksi Melambat di Kuartal II, Simak Rekomendasi Analis
Di sektor kesehatan ada PT Diagnos Laboratorium Utama Tbk (DGNS) yang kinerjanya lebih sehat. DGNS meraup laba periode berjalan senilai Rp 217,84 juta. Kinerja ini lebih baik ketimbang rugi Rp 3,46 miliar pada kuartal I-2023.
Emiten barang konsumsi PT Maxindo Karya Anugerah Tbk (MAXI) juga unjuk gigi. MAXI mengantongi laba Rp 502,47 juta per kuartal I-2024. Lebih baik dibandingkan rugi Rp 1,92 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Research Analyst Stocknow.id Emil Fajrizki mengamati performa emiten yang mampu mengubah rugi menjadi laba bersih umumnya merupakan indikasi adanya perbaikan strategi manajemen keuangan dan peningkatan efisiensi operasional. "Ada upaya perbaikan dari sisi pengelolaan biaya, optimalisasi pendapatan, maupun efisiensi proses bisnis," ungkap Emil kepada Kontan.co.id, Selasa (11/6).
Hanya saja, untuk memastikan keberlanjutan performa positif pada kuartal-kuartal berikutnya, perlu dilakukan analisis lebih mendalam terhadap faktor-faktor pendorong kenaikan kinerja. "Misalnya, apakah peningkatan ini bersifat struktural atau hanya temporer, serta sejauh mana emiten mampu bertahan di tengah kondisi ekonomi dan sektor yang fluktuatif," imbuh Emil.
Baca Juga: IHSG Rawan Melanjutkan Pelemahan pada Rabu (12/6), Pasar Menantikan Hasil FOMC
Investment Consultant Reliance Sekuritas Indonesia Reza Priyambada menambahkan, perbaikan bottom line memang menjadi indikasi penting untuk mengukur kinerja emiten. Namun, para pelaku pasar juga mesti mencermati indikator lainnya seperti pertumbuhan pendapatan, capaian laba kotor dan laba operasi.
Menurut Reza, hal itu penting untuk menggambarkan apakah perbaikan bottom line datang dari hasil pertumbuhan bisnis dan efisiensi operasional, atau ada faktor lain di luar performa usaha. "Lihat operating dan gross profit juga karena lebih riil dari kegiatan bisnis. Kadang bottom line ada tambahan dari non-operasional," imbuh Reza.
Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas menyoroti mayoritas emiten yang membalikkan rugi menjadi laba di kuartal I-2024 mampu mencapai perbaikan kinerja operasional. Emiten berhasil melakukan efisiensi cost, sehingga mendongkrak profitabilitas.
"Proyeksi kinerja emiten di kuartal selanjutnya ada peluang untuk kembali mencetak laba, terutama jika kembali mampu mempertahankan efesiensi cost dan biaya-biaya lainnya," kata Sukarno.
Baca Juga: Morgan Stanley Turunkan Rekomendasi Saham-Saham Indonesia Jadi Underweight
Tak Selalu Sejalan dengan Saham
Meski secara kinerja keuangan cemerlang, tapi Pengamat Pasar Modal & Founder WH-Project William Hartanto mengingatkan bahwa capaian kinerja emiten tidak selalu sejalan dengan pergerakan harga sahamnya. Fundamental emiten memang menjadi faktor penting, namun itu bukan menjadi satu-satunya katalis yang menggerakkan harga saham.
Terutama untuk pilihan investasi jangka pendek-menengah, pelaku pasar juga mempertimbangkan momentum teknikal, sentimen sektoral, posisi net buy atau sell dari investor asing, hingga aksi korporasi. "Bisa karena valuasi atau memang belum disadari, jadi investor belum berminat. Secara umum itu hanya masalah minat pasar saja," terang William.
Sukarno menambahkan, tren pergerakan harga saham tidak banyak berubah setelah rilis kinerja bisa jadi karena investor sudah mengantisipasi, sehingga ter-priced in. Dia mencontohkan PSAB yang sudah melejit di awal tahun 2024.
Kemudian, ada yang pergerakan sahamnya lebih sensitif terhada sentimen harga komoditas seperti MBMA dan FIRE. Lalu untuk EMTK, secara sektoral saham teknologi tampak belum kembali menarik di mata investor.
Baca Juga: IHSG Turun 0,95% ke 6.855 Selasa (11/6), SMGR, GOTO, BRPT Top Losers LQ45
Sementara Reza menyoroti bahwa daya tarik saham juga terletak dalam likuiditasnya di pasar. Di antara emiten yang membalikkan rugi menjadi laba di kuartal I-2024, Reza melirik saham MBMA, EMTK dan PSAB, dengan target harga masing-masing di Rp 675, Rp 450 dan Rp 170.
Emil menilai EMTK bisa menjadi pilihan investasi yang menarik. Kemudian untuk swing trading, Emil memilih saham MBMA dengan target harga pada resistance Rp 720.
William juga menjagokan saham MBMA. Begitu juga dengan Sukarno yang menyematkan rekomendasi trading buy MBMA mencermati support Rp 580 dan target harga di Rp 660 per saham-Rp 685 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News