Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sentimen eksternal seperti kebijakan kenaikan suku bunga The Fed Amerika Serikat (AS) menjadi faktor penggerak yang membuat kurs rupiah berfluktuasi. Kondisi ini diantisipasi oleh sejumlah emiten yang memiliki banyak komponen impor dalam rantai bisnisnya.
Nilai tukar rupiah di pasar spot pada Selasa (10/5) menguat 0,12% ke posisi Rp 14.555 per dolar AS. Sedangkan kurs rupiah Jisdor turun tipis 0,08% ke Rp 14.546 per dolar AS.
Emiten di sektor farmasi mengantisipasi fluktuasi kurs rupiah. Pasalnya, komponen bahan baku di sektor ini masih bertumpu pada impor dari berbagai negara, dengan porsi yang mencapai sekitar 90%.
Baca Juga: Indeks Utama Wall Street Kompak Naik, Waspada Koreksi Lagi
Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) Vidjongtius mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengantisipasi gejolak ekonomi global sejak awal tahun 2022. KLBF mengatur strategi dengan menambah persediaan bahan baku untuk meminimalisasi dampak fluktuasi kurs.
"Kalau (kenaikan) suku bunga tidak terlalu berdampak, karena posisi loan Kalbe rendah," ujar Vidjongtius saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (10/5).
Di tengah kondisi saat ini, KLBF merasa perlu untuk meningkatkan efisiensi modal kerja dan proses produksi. Di samping menjaga tingkat pengeluaran agar arus kas tetap sehat.
"Cadangan dolar di neraca sudah menjadi policy utama selama ini untuk antisipasi kurs yang fluktuatif," imbuh Vidjongtius.
Baca Juga: Harga Saham BBCA, BBRI, TLKM, BMRI, ASII Masih di Atas Nilai Wajar
Sekretaris Perusahaan PT Phapros Tbk (PEHA) Zahmilia Akbar mengatakan bahwa pihaknya juga telah mengantisipasi kondisi ini dengan perencanaan dan realisasi pembelian bahan baku yang masih impor untuk kebutuhan beberapa bulan ke depan.
Langkah tersebut menjadi fokus dari bagian supply chain untuk mencegah dampak berlebihan pada bisnis. Selain itu, PEHA juga telah melakukan beberapa upaya, antara lain kesepakatan jangka panjang dengan vendor di luar negeri untuk mengantisipasi dampak fluktuasi kurs.
PEHA juga mulai menggunakan mata uang lokal selain dolar AS dalam pembelian bahan yang masih impor, agar nilanya bisa lebih stabil. "Karena kami wajib menjaga ketersediaan obat bagi masyarakat di Indonesia bagaimanapun konsekuensi kondisinya," kata Zahmilia.
Tak hanya di jajaran emiten farmasi, perusahaan yang bergerak di bisnis pupuk premium non-subsidi yakni PT Saraswanti Anugerah Makmur Tbk (SAMF) pun turut melakukan antisipasi. Pasalnya, untuk memproduksi pupuk NPK, sekitar 40% komponen bahan baku masih harus dipenuhi lewat impor.
Direktur Utama SAMF Yahya Taufik menjelaskan bahwa untuk kontrak yang sudah on hand, pergerakan kurs tidak berpengaruh. Sebab, untuk setiap pengadaan bahan baku sudah dilakukan hedging. Meski begitu, tak menutup kemungkinan akan berpengaruh terhadap harga jual pupuk ke depannya.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, SAMF menjalankan strategi untuk meningkatkan efisiensi, penambahan kapasitas pabrik, menjamin pasokan bahan baku, menjaga konsistensi kualitas produk, penguatan riset, serta networking sales & produk secara intensif.
Baca Juga: Turun Dua Hari Berturut-Turut, Simak Proyeksi IHSG untuk Rabu (11/5)
Sedangkan untuk mengantisipasi fluktuasi harga bahan baku, salah satu strategi yang ditempuh SAMF adalah menjalin kerja sama dengan para supplier bahan baku, guna mengamankan pasokan dan jaminan ketersediaan.
"Permintaan pasar terhadap produk SAMF masih sangat tinggi. Untuk itu kami terus berusaha agar bisa memenuhi permintaan para pelanggan," kata Yahya.
Sementara itu, bagi korporasi multi bisnis seperti PT Astra International Tbk (ASII), dampak fluktuasi kurs rupiah bervariasi. "Secara umum, fluktuasi nilai rupiah terhadap dolar AS memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap bisnis Grup Astra," ujar Head of Investor Relations ASII, Tira Ardianti.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Pilihan Untuk Perdagangan Rabu (11/5)
Dia menggambarkan, pada lini bisnis otomotif, penguatan dolar AS berdampak pada kenaikan biaya bahan mentah yang sebagian masih diimpor. Pada akhirnya, kondisi ini bisa saja berdampak pada peningkatan harga produk otomotif, meski hal ini tetap akan mempertimbangkan daya beli konsumen.
Di sisi lain, penguatan dolar AS dapat meningkatkan kontribusi pendapatan dari ekspor, karena produk yang diekspor ketika dikonversi ke rupiah nilainya menjadi lebih tinggi. Selain itu, penguatan dolar AS juga menguntungkan sektor bisnis berbasis komoditas.
Kondisi itu seperti dialami oleh anak usaha Grup Astra, PT United Tractors Tbk (UNTR). "Ketika harga batubara sedang baik seperti saat ini, bisnis United Tractors diuntungkan karena sebagian besar pendapatan bisnis ini adalah dalam bentuk dolar AS," ungkap Tira.
Dalam hal kewajiban, Tira menyebut bahwa hampir seluruh liabilitas ASII saat ini sudah dilakukan hedging atau lindung nilai. Meski begitu, ASII akan terus memonitor fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Terkait pergerakan saham dari keempat emiten di atas, KLBF berhasil bergerak di zona hijau sepanjang perdagangan Selasa (10/5). Harga saham KLBF menguat 85 poin atau 5,56% ke level Rp 1.615.
Sedangkan harga saham PEHA dan SAMF hingga penutupan perdagangan hari ini tidak bergerak dibandingkan hari sebelumnya. Harga saham PEHA dan SAMF masing-masing berada di posisi Rp 995 dan Rp 655. Adapun saham ASII merosot 50 poin atau 0,71% ke level Rp 7.000.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengungkapkan bahwa dampak dari kenaikan suku bunga The Fed dapat mendorong pelemahan kurs rupiah. Emiten-emiten yang memiliki paparan besar pada sisi importir akan terkena imbasnya.
Baca Juga: Fundamental Baik, Rupiah Berkinerja Lebih Baik Dibandingkan Mata Uang Asia
Namun, tekanan dari kenaikan tingkat suku bunga ditaksir hanya akan memberikan dampak jangka pendek. "Selama fundamental ekonomi Indonesia masih kuat dan solid, kami yakin dampaknya akan dapat diredam," ujar Nico.
Dalam kondisi seperti sekarang, Nico menyarankan, jika ada saham yang memiliki potensi valuasi di masa mendatang, maka akumulasi beli bisa menjadi pilihan. Namun, bagi investor yang tidak menyukai volatilitas yang terjadi di pasar, wait and see bisa dipertimbangkan.
"Volatilitas yang tinggi akan mendorong pelaku pasar cenderung menunggu bagi mereka yang tidak siap untuk mengikutinya. Sehingga keputusan untuk buy atau sell dan hold, kembali pada persepsi dan ekspektasi pelaku pasar," kata Nico.
Baca Juga: Saham Big Caps Masih Tertekan, Simak Rekomendasi BBCA, BBRI, TLKM, BMRI, ASII
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo Wibowo menambahkan bahwa fluktuasi rupiah saat ini masih terbilang wajar, bahkan pergerakan rupiah cenderung stabil. Alhasil, dampak terhadap emiten yang mengandalkan komponen impor dinilai tidak begitu signifikan.
Tapi, saat ini perusahaan yang banyak melakukan impor lebih terpengaruh oleh kenaikan harga komoditas. "Terutama pada perusahaan yang mengandalkan komoditas sebagai bahan baku produksi seperti consumer, farmasi, dan pakan ternak," ujar Azis.
Meski begitu, emiten consumer dan unggas masih dapat dilirik atau bisa dipertimbangkan untuk trading buy. Seperti pada saham ICBP, INDF, dan JPFA yang ditaksir masih memiliki potensi kenaikan 15%-20%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News