Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah sentimen kenaikan suku bunga AS, rupiah dalam 5 hari tercatat berkinerja cukup solid dibandingkan dengan mata uang kawasan Asia. Walaupun terkoreksi, pelemahan rupiah jauh lebih terbatas dibandingkan dengan mata uang lainnya.
Pada periode tersebut, rupiah tercatat hanya melemah 0,371% di hadapan the greenback. Sementara mata uang lain seperti dolar Singapura, baht Thailand, dan ringgit Malaysia harus melemah masing-masing 0,44%; 0,58%; dan 0,67%. Bahkan, pelemahan yuan terhadap dolar AS mencapai 1,74%.
Senior Economist Samuel Sekuritas Fikri C Permana mengungkapkan, faktor fundamental Indonesia yang kuat merupakan alasan utama rupiah berkinerja cukup apik dibanding mata uang kawasan lainnya.
Baca Juga: Level CDS Indonesia Tinggi, Risiko Investasi Meningkat
Salah satu indikatornya adalah data neraca dagang yang selalu surplus rata-rata US$ 3 miliar per bulan. Hal tersebut membuat Bank Indonesia bisa lebih leluasa jika memang perlu melakukan intervensi. Alhasil, pelemahan rupiah pun tidak sedalam dibanding mata uang kawasan lainnya.
“Selain itu, kepemilikan asing di pasar modal, khususnya SBN sudah sangat jauh berkurang. Hal ini membuat capital outflow yang terjadi di Indonesia tidak terlalu besar dibanding negara emerging markets lainnya sehingga membantu menjaga nilai tukar rupiah,” ujar Fikri kepada Kontan.co.id, Selasa (10/5).
Di tengah ramainya bank-bank sentral menaikkan suku bunga acuan, Fikri justru melihat Bank Indonesia tidak perlu terburu-buru menaikkan suku bunga acuan. Menurut Fikri, saat ini inflasi di dalam negeri masih stabil dan pemulihan ekonomi masih berjalan. Kondisi yang berbeda dengan AS di mana inflasi sudah naik tajam.
Baca Juga: Tekanan Eksternal Berpotensi Memicu Pelemahan Rupiah Kembali pada Rabu (11/5)
Lagipula, menurut dia rupiah saat ini masih berada di nilai wajarnya yang berada di kisaran Rp 14.500 per dolar AS-Rp 15.000 per dolar AS. Oleh sebab itu, BI tidak perlu melakukan intervensi dengan menaikkan suku bunga acuan sebagai langkah untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
“Dengan rupiah yang sejauh ini masih stabil, BI belum perlu menaikkan suku bunga pada bulan ini. Kalaupun ternyata naik, sepertinya cukup 25 bps, tidak perlu setinggi yang dilakukan The Fed,” imbuh Fikri.
Selain kenaikan suku bunga, dia menilai, sentimen lain yang perlu diperhatikan adalah perkembangan harga minyak dunia. Pasalnya, Indonesia sebagai importir minyak, naiknya harga minyak akan berpotensi menggerus surplus neraca dagang. Jika sampai tergerus, tentu akan jadi sentimen negatif dan mengikis fundamental Indonesia yang saat ini masih terhitung solid.
Baca Juga: IHSG Melemah ke 6.819 pada Hari Ini, BBCA, BMRI, BBRI Paling Banyak Net Sell Asing
Hingga kuartal kedua 2022 berakhir, Fikri memperkirakan rupiah masih akan volatile mengingat The Fed berpotensi masih akan agresif menaikkan suku bunga acuan. Oleh sebab itu, perkiraannya rupiah akan bergerak pada rentang Rp 14.500 per dolar AS-Rp 14.700 per dolar AS.
Akhir tahun masih di 14.600. Akhir semester pertama Rp 14.500 per dolar AS-Rp 14.700 per dolar AS masih akan volatile merespons BI dan kenaikan lanjutan Fed Rate yang masih bisa 50 bps dalam dua bulan ke depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News