kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Asing belum banyak masuk karena masih menunggu kenaikan bunga


Senin, 17 September 2018 / 21:16 WIB
Asing belum banyak masuk karena masih menunggu kenaikan bunga
ILUSTRASI. Chief Economist CIMB Niaga, Adrian Panggabean


Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor pasar finansial Indonesia seringkali melihat aksi investor asing sebagai patokan portofolionya. Banyak teori yang mencoba menerangkan kenapa asing masih belum juga banyak masuk ke Indonesia. Apakah pasar finansial kita memang masih buruk? Apa saja yang bisa dilakukan investor? Berikut ini penuturan Adrian Panggabean Chief Economist Bank CIMB Niaga Tbk kepada KONTAN.

Bagaimana Anda melihat fenomena asing yang terus keluar dari emerging market?

Kalau dalam pemahaman saya sih yang namanya emerging market itu bukan satu asset class.  Emerging market itu ada beberapa asset class  tergantung dari wilayah, rating, market cap.  Indonesia itu yang pasti kelas emerging market yang berbeda dengan Turki, Argentina, South Afrika, bahkan dengan Brasil. Dari berbagai matriks, sehingga kalau ada  terminologi serangan terhadap emerging market, maka itu bukan berarti serangan terhadap seluruh emerging market, karena investor asing juga bukan melihat emerging market sebagai suatu entitas kelas, tapi berbagai macam bentuk kelas.

Nah Indonesia kalau dilihat dari kacamata luar negeri, sebenarnya bukan masuk dalam kelas yang berbahaya. Nah ini yang mungkin seringkali terjadi kesalahpahaman.

Maksudnya kalau beberapa negara berkembang krisis, bukan berarti akan menular ke Indonesia?

Kalau dilihat dari berbagai matriks dan ini diamati juga oleh investor asing, misalnya dari matriks ekonomi, finansial, dan government, kita itu sudah jauh berbeda dengan 98 bahkan dengan 2008 sendiri juga berbeda.
Ambil contoh misalnya, financial sector di Indonesia itu well capitalized, capital adequacy ratio kita itu 22%, lalu net open position enggak ada sejak tahun 2016. Berbeda dengan Turki kita sudah mewajibkan penggunaan Rupiah untuk transaksi di dalam negeri. Turki itu belum, dia baru saja. Kalau kita lihat dengan ketentuan hedging, sudah ada ketentuan hedging 25% dari liabilities. 

Jadi banyak atau hampir semua atau bahkan semua dari pemain exposure liability dalam dolar itu sudah di-hedge. Sehingga dengan demikian celah pintu masuk dalam sistem finansial kita sebetulnya tidak sebanyak yang terjadi misalnya di Turki. Kalau kita lihat secara objective, utang luar negeri kita kan di Januari 2018 disebutkan 34% dari GDP. Kalau kita lihat dihitung berdasarkan depresiasinya yang mungkin sekarang menjadi 35% atau 36% dari GDP, bahkan di angka itu saja  utang luar negeri kita sangat rendah ya. Kebanyakan juga sudah di-hedge.

Cadangan devisa kita juga to be objective ya, walaupun turun tapi masih memadai.  Yang disebutkan bahwa cadangan devisa itu kalau dihitung berdasarkan proporsi terhadap jumlah impor dalam bulan dan interest payment, mungkin  enggak sampai 8 bulan 9 bulan, tapi ya tidak kurang dari 7 bulan.

Tapi juga penting juga untuk melihat proporsi dari perbandingan relatif maksud saya dari  cadangan devisa terhadap jumlah short term capital yang akan keluar masuk. Mungkin diperkirakan sebanyak US$ 15 miliar, jadi kalau dilihat dari sudut itu, sebetulnya  exposure Indonesia terhadap krisis seperti Argentina, Turki, Argentina, Brasil, dan South Afrika itu enggak banyak.

Lalu ke mana investor asing itu berinvestasi sekarang?

Orang untuk menukar ke dolar saat ini pun bingung, karena Indonesia dengan India misalnya adalah 2 negara dengan performance ekonomi yang terbaik di dunia di Asia Pasifik paling tidak. Kalau misalnya keluar dari Indonesia mau pindah ke mana?

Kalau sekarang kita pindahkan, dipindah misal ke negara maju gitu ya. Kita bandingkan saja, apakah potential return di Amerika Serikat itu sudah lebih baik dari Indonesia atau tidak. Misalnya, sekarang mereka mau masuk pada saat business cycle dan asset cycle di Amerika sudah di atas kita masuk, begitu dia masuk ya tinggal tunggu turun. Mau masuk sekarang pun sudah salah timing.

Kalau kita bandingkan dengan Indonesia misalnya,  kondisi inflasi yang 3% an lalu dengan yield katakan 8,5% maka net yield yang diperoleh adalah gross yield dikurangi inflasi 3% masih sekitar 5%. Nah ini kan cukup menarik ya. Mungkin kalau dipotong dengan prospek depresiasi terhadap rupiah, jadi in dollar terms, mungkin belum menarik.

Tapi kan yang namanya investment over the long term, itu kan kita kadang-kadang di bawah cycle, kadang di atas cycle, kan. Katakan 5 tahun, over 10 tahun kita sekarang bicaranya long term investment, bahkan di dalam portfolio. Pada saat lagi market deep kayak sekarang, di average ke bawah, potential upsize ke depannya itu banyak. Nah ini yang sebetulnya dimaklumi oleh asing, jadi kapan mereka masuk kapan mereka keluar itu tergantung dari tergantung dari fluktuasi dari mata uang dan current CDS-nya.

Lalu kenapa belum banyak masuk di pasar kita?

Begini, asing itu kalau melihat  Indonesia, aset Indonesia paling tidak di bond market ya. Dengan yield 8,5% atau 8,6% untuk 20 tahun katakan hampir 9%. Kalau mereka masuk dari Rupiah 15 ribu, konversi dolarnya dan mendapatkan apa namanya aset rupiah 8,5% atau 9%, sebetulnya sih very attractive. Nah yang menjadi masalah kenapa mereka masih belum mau masuk on the big way, adalah karena ekspektasi bahwa Bank Indonesia mungkin masih akan menaikkan suku bunga.

Jadi ekspektasi bahwa otoritas moneter mungkin masih akan menaikkan suku bunga akan menyebabkan offshore itu berpikir mungkin bottom-nya itu belum tercapai, jadi mungkin kalau bottom fishing ya jangan masuk sekarang. Tunggu dia naikin suku bunga dulu, baru dia masuk. Kalau suku bunga dinaikkan, harga jatuh baru mereka masuk dan pungut di bawah. Dan kalau misalnya nuansa agresivitas dalam kebijakan moneter itu terus ada, ya asing akan terus wait and see, karena mereka akan tunggu di bawah. Kan prinsip buy low sell high ini kan masih tetap ada, jadi mereka akan tetap tunggu low-nya di mana. Selagi otoritas moneter terus menginjeksi nuansa bahwa tingkat suku bunga akan naik, new low akan terus tercipta.

Lalu apa yang bisa dilakukan investor dalam kondisi sekarang?

Sekarang tuh yang menarik adalah  banyak investor buy on the dip. Misalnya orang yang punya dolar itu mungkin tidak akan konversi uangnya ke rupiah dulu, tapi dia akan beli instrumen dolar. Obligasi Indonesia yang berdenominasi dolar, INDON misalnya. Pada saat harga rupiah itu merosot, dan ditambah dengan credit default swop-nya naik, maka biasanya harga INDON jatuh. Nah orang ramai tuh beli INDON karena effective yield-nya langsung naik.

Berapa yield-nya sekarang?

Seperti INDON 48 misalnya, kuponnya 4,3% effective yield-nya bisa 4,7%-4,6% ya. Nah 4,6% in dollar term tidak ada pajak ya menarik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×