Reporter: Herry Prasetyo, Klaudia Molasiarani | Editor: A.Herry Prasetyo
Peluang akumulasi
Memang, enggak gampang memperkirakan pergerakan harga saham di bursa. Kecuali market, tidak ada yang tahu ke mana arah pergerakan harga suatu saham emiten.
Toh, analis meyakini, tekanan terhadap pergerakan harga saham emiten konstruksi pelat merah di kuartal satu tahun ini sejatinya merupakan hal musiman. Maklum, Kepala Riset Ciptadana Securities Arief Budiman mengatakan, realisasi belanja pemerintah biasanya lambat di awal tahun.
Kinerja perusahaan konstruksi pelat merah memang enggak lepas dari realisasi anggaran belanja pemerintah. Sebab, sebagian besar proyek infrastruktur yang mereka kerjakan dibiayai oleh Anggaran dan Pendapatan Belanja (APBN).
Meski terbilang wajar lantaran faktor musiman, Arief bilang, tekanan harga saham emiten konstruksi BUMN awal tahun ini cukup mengherankan. Soalnya, total kontrak maupun nilai kontrak baru ketiga emiten melonjak tinggi tahun lalu. Alhasil, pendapatan emiten tersebut tahun ini seharusnya bagus. “Investor mungkin lebih memilih saham cylical seperti saham komoditas,” tebak dia.
Michael Ramba juga tak habis mengerti, seperti apa sebetulnya ekspektasi pasar terhadap kinerja emiten konstruksi BUMN. Padahal, meski tidak akan sebagus tahun lalu, pertumbuhan kinerja ketiga emiten konstruksi tersebut masih akan bagus pada tahun ini.
Bisa jadi, Analis BCA Sekuritas ini menduga, pelaku pasar berekspektasi pertumbuhan kinerja WIKA, PTPP, dan WSKT tidak akan sebagus tahun lalu. Memang, perolehan kontrak baru tidak akan setinggi tahun lalu. Namun, pertumbuhan total kontrak emiten itu akan tumbuh bagus hingga 2019.
Menurut Franky Rivan, penyerapan belanja pemerintah menjadi salah satu faktor yang membikin harga saham emiten konstruksi BUMN tertekan. Apalagi, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia ini bilang, realisasi belanja pemerintah awal tahun ini justru turun dibandingkan tahun lalu.
Kesulitan pemerintah dalam menyediakan pendanaan untuk berbagai proyek besar juga menjadi sentimen negatif bagi emiten konstruksi. Sebab, jika harus menggaet pendanaan sendiri, alih-alih menerima kucuran APBN, emiten bakal mendapat beban berat.
Tambah lagi, beberapa emiten konstruksi pelat merah mulai berganti haluan. Enggak cuma sebagai kontraktor, beberapa emiten diminta menjadi operator proyek, seperti operator jalan tol maupun operator light rail transit (LRT). Padahal, internal rate of return (IRR) operator lebih kecil ketimbang IRR kontraktor.
Soal pembiayaan, Michael mengatakan, tidak semua emiten bergantung pada APBN. Pendanaan untuk proyek kereta cepat Jakarta–Bandung yang digarap WIKA, misalnya, berasal dari China Development Bank. Artinya, risiko pembiayaan justru lebih kecil.
Memang, sebagian proyek yang digarap ketiga emiten merupakan proyek pemerintah yang didanai APBN. Karena itu, Michael memperkirakan, jika dana APBN untuk berbagai proyek terserap dengan lebih cepat, pergerakan harga saham emiten konstruksi BUMN akan dapat sentimen positif.
Bagi Danny Eugene, pergerakan harga saham WIKA maupun WSKT yang tertinggal dibanding IHSG karena valuasi harga sahamnya sudah cukup tinggi. Tahun lalu, harga saham kedua emiten itu telah naik tinggi, sementara kinerja sepanjang 2016 ternyata kurang sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar. “Valuasi sudah naik dulu,” ujar Kepala Riset Mega Capital Indonesia ini.
Nah, seperti apa sebetulnya prospek kinerja dan saham ketiga emiten konstruksi BUMN tersebut? Yuk, simak rekomendasi analis berikut ini:
- WIKA
Sejak awal tahun, emiten hasil nasionalisasi perusahaan Belanda bernama NV Vis en Co. ini langsung tancap gas. WIKA menargetkan perolehan kontrak baru mencapai Rp 43,24 triliun, naik 475% dibandingkan dengan tahun lalu. Awal Maret lalu, WIKA mengantongi kontrak baru senilai Rp 13,32 triliun atau 30,80% dari target.
Yang terbaru, WIKA memenangkan tender pengerjaan proyek jalan tol Cengkareng–Batu Ceper–Kunciran senilai Rp 2,17 triliun. Perolehan kontrak baru ini menambah daftar kontrak yang telah mereka raih sebelumnya, seperti proyek Trans Park Cibubur, pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1.000 megawatt (MW) di Cilacap dan Sulawesi Selatan, serta proyek Jembatan Soebada di Timor Leste.
Hingga akhir tahun ini, WIKA menargetkan mencetak laba Rp 1,22 triliun, naik 20,45% dibandingkan dengan realisasi tahun lalu. Total kontrak diperkirakan mencapai Rp 102,94 triliun, tumbuh 123,59%.
Untuk membiayai berbagai proyek, Direktur Keuangan WIKA Antonius Steve Kosasih menyatakan, perusahaannya berencana menerbitkan obligasi senilai Rp 5 triliun–Rp 10 triliun tahun ini. Bulan lalu, WIKA telah menggaet pinjaman perbankan dari sindikasi tujuh bank sebesar Rp 5 triliun. Pinjaman itu ditujukan sebagai modal kerja pembangunan jalan tol Balikpapan–Samarinda dan tol Soreang–Pasir Koja.
Mengikuti jejak WSKT, WIKA juga mulai berinvestasi di bisnis jalan tol. Menggandeng PTPP dan PT Jababeka Infrastruktur, mereka membentuk konsorsium dalam investasi jalan tol Serang–Panimbang.
Meski tak seagresif Waskita, Michael menilai, langkah WIKA masuk bisnis jalan tol akan berdampak positif. Sebab, WIKA otomatis akan memperoleh kontrak pengerjaan proyek jalan bebas hambatan miliknya. Selain itu, margin usaha konstruksi akan lebih bagus.
Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung, menurut Franky, memberikan keuntungan bagi WIKA. Lantaran sudah mengetahui cetak biru proyek tersebut, WIKA telah membeli banyak lahan di sekitar proyek. Dalam tiga bulan, harga tanah yang WIKA beli naik 30%.
Franky menuturkan, bisnis jualan tanah ini menjadi bumper saat bisnis konstruksi tidak begitu bagus. Dari pembelian lahan itu, WIKA juga mendorong bisnis anak usahanya yang bergerak di bidang properti, PT Wijaya Karya Realty.
Franky memperkirakan, pendapatan WIKA tahun ini Rp 24,62 triliun, dengan laba bersih Rp 1,36 triliun. Meski perolehan kontrak baru tahun ini tak setinggi tahun lalu, proyeksi Danny, WIKA bisa meraup laba bersih Rp 1,95 triliun.
Danny merekomendasikan beli untuk saham WIKA, dengan target harga Rp 3.170 per saham. Franky dan Michael juga merekomendasikan beli untuk saham WIKA, dengan target harga masing-masing Rp 3.200 per saham dan Rp 3.600 per saham. Saat ini, harga saham WIKA mencerminkan rasio harga saham terhadap laba bersih per saham alias price to earning ratio (PER) sebesar 20,88 kali.