kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Yield SUN Tembus 7%, Menyusul US Treasury yang Makin Tinggi


Selasa, 10 Mei 2022 / 07:20 WIB
Yield SUN Tembus 7%, Menyusul US Treasury yang Makin Tinggi


Reporter: Aris Nurjani | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada hari pertama perdagangan setelah libur lebaran, harga obligasi melemah. Pelaku pasar merespons kenaikan suku bunga Federal Reserve sebesar 50 bps pada 5 Mei lalu.

Senin (9/5), yield surat utang negara (SUN) acuan tenor 10 tahun seri FR0091 naik ke 7,245% dari posisi 6,967% pada perdagangan terakhir sebelum libur panjang Lebaran, Kamis (28/4). Ini adalah level tertinggi yield seri FR0091 sejak diterbitkan pada 13 Juli 2021. Kenaikan yield ini berarti harga SUN semakin turun.

Sedangkan yield US Treasury tenor 10 tahun kemarin ditutup pada 3,04%. Yield surat utang Amerika Serikat (AS) ini turun dari posisi tertinggi sebesar 3,13% pada Jumat (6/5).

Baca Juga: Obligasi Indonesia Semakin Tertekan Setelah The Fed Menaikkan Suku Bunga

Head of Fixed Income Bank Negara Indonesia (BNI) Fayadri mengatakan dampak agresivitas The Fed baru dirasakan oleh pasar obligasi Indonesia pada hari pertama perdagangan setelah libur lebaran.

"Risk aversion investor juga meningkat, hal ini terlihat dari CDS 5 tahun yang sudah menyentuh angka 129,36 yang merupakan angka tertinggi sejak awal tahun ini," kata Fayadri kepada Kontan.co.id, Senin (9/5). 

Di sisi lain porsi kepemilikan asing per tanggal 27 April sudah berada di level 17,11%, turun dibanding posisi per akhir tahun 2021 yang berada di angka 19,05%.

Fayadri mengatakan sejak awal tahun persentase incoming bid dibandingkan dengan target indikatif lelang menunjukkan tren penurunan, baik pada pelaksanaan lelang SUN maupun SBSN. Terlihat investor lebih memilih untuk tidak agresif dan mengambil sikap wait and see

Baca Juga: Pasar Merespons Keputusan The Fed, IHSG Terjun dari Level 7.000

Menurut Fayadri untuk lelang besok belum akan ada perubahan signifikan dari tren yang terjadi saat ini. Tapi dengan dukungan likuditas investor yang masih bagus, terutama perbankan, diperkirakan jumlah penawaran yang masuk masih akan di atas target indikatif.  

Fayadri menyebut, seri SPN tenor 12 bulan diperkirakan masih akan menjadi favorit investor. Besarnya tekanan inflasi dan potensi kenaikan suku bunga lanjutan serta minimnya sentimen positif masih akan membatasi peluang penurunan yield di pasar SUN. 

"Yield SUN 10 tahun masih berpotensi untuk menembus level 7,30%. Spread antara US Treasury 10 tahun dengan SUN tenor 10 tahun diperkirakan masih akan konsisten di kisaran 400 bps-450 bps," ucap Fayadri

Baca Juga: IHSG Terjun 4,42% ke 6.909 pada Senin (9/5), 10 Saham LQ45 Turun Lebih Dari 6%

Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management (HPAM) Reza Fahmi mengatakan, keputusan agresif The Fed menaikkan suku bunga dapat mengerek yield obligasi terus menanjak. Hal ini tidak menguntungkan bagi pasar obligasi Indonesia. "Karena selisih yang kecil antara yield dengan US Treasury sehingga dapat memicu capital outflow dan hal tersebut bisa mendorong BI menaikkan suku bunga," ucap Reza. 

Reza mengatakan risiko capital outflow asing diprediksi masih cenderung lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2013, tahun 2015, ataupun tahun 2018. Hal ini karena investor asing menilai bahwa fundamental Indonesia masih cukup bagus.

Dia menambahkan, The Fed secara agresif menaikkan suku bunga karena inflasi yang terjadi sangat tinggi mencapai 7% lebih. Sedangkan di Indonesia inflasi saat ini berada pada kisaran 3% yang lebih rendah dibanding dengan suku bunga Bank Indonesia 3,5%.

Baca Juga: Wall Street Tumbang, Saham Teknologi Makin Tertekan

Data inflasi dalam negeri yang rilis hari ini akan jadi salah satu kunci penentu arah kebijakan suku bunga yang akan diambil oleh BI pada RDG tanggal 24 Mei nanti. 

Fayadri mengungkapkan, tidak berbeda dengan kondisi di pasar global, data inflasi sedang menjadi perhatian utama dan akan menjadi penentu arah kebijakan suku bunga yang selanjutnya akan memberikan dampak terhadap risk appetite investor terhadap pasar obligasi. Menurut Fayadri dibandingkan dengan tingkat inflasi, sebenarnya imbal hasil yang ditawarkan oleh obligasi Indonesia sudah menarik. 

"Namun masih besarnya tekanan inflasi, potensi kenaikan lanjutan suku bunga acuan serta tren pergerakan yield obligasi membuat investor lebih memilih untuk wait and see," kata Fayadri. 

Baca Juga: Terangkat IHSG, Reksadana Saham Berkinerja Paling Apik hingga April

Fayadri mengatakan strategi pengelolaan portofolio sangat tergantung pada risk appetite dari masing-masing investor. Investor yang berani mengambil risiko tinggi demi mendapatkan imbal hasil yang tinggi dapat memilih investasi pada saham atau obligasi. 

Investor yang cenderung tidak mau terpapar risiko tinggi dapat memilih reksadana atau deposito. Sedangkan investor yang ingin masuk ke pasar saham harus lebih jeli dan teliti melihat fundamental dan prospek bisnis emiten.

"Tingginya tekanan inflasi yang mendorong kenaikan suku bunga telah memberikan sentimen negatif terhadap pasar obligasi. Dalam kondisi pasar obligasi saat ini, investor perlu lebih cermat mengamati perkembangan inflasi serta arah kebijakan suku bunga sehingga bisa mendapatkan timing yang tepat untuk mendapatkan yield yang bagus," ujar Fayadri. 

Baca Juga: Kurs Rupiah Melemah Pada Perdagangan Senin (9/5) Efek Kenaikan Suku Bunga

Reza optimistis bahwa market di Indonesia masih akan terus meningkat di tengah kenaikan suku bunga, namun investor juga harus berhati hati dalam memposisikan dana dalam berinvestasi.

"Jadi para investor bisa mendiversifikasikan dananya ke dalam beberapa produk investasi, bisa ke reksadana saham dan pasar uang untuk menunggu posisi koreksi sehat IHSG dan setelah itu bisa masuk ke pasar saham ataupun reksadana saham di saat market sudah mulai kembali naik," tutup Reza. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×