Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang tahun ini rupanya jadi periode yang apik untuk reksadana saham. Jenis reksadana ini berhasil memiliki kinerja yang paling baik dibandingkan reksadana lain.
Bahkan, sepanjang April kemarin, kinerja reksadana yang tercermin dari Edvisor Total Equity Funds Index berhasil naik 3,20%. Alhasil, hal tersebut membuat kinerja reksadana saham sepanjang empat bulan pertama ini tumbuh 6,33%.
CEO Edvisor.id Praska Putrantyo menjelaskan, positifnya kinerja tersebut dipengaruhi oleh penguatan IHSG yang signifikan dengan kenaikan 2,23% sekaligus mampu bertahan di atas level 7.200-an jelang penutupan libur Lebaran 2022. Sementara dalam empat bulan pertama di tahun ini, IHSG berhasil menguat 9,84%
“Derasnya arus dana investor asing di pasar keseluruhan mencapai Rp 40,8 triliun menjadi katalis penopang kuatnya IHSG di tengah gejolak pasar global akibat perang Rusia-Ukraina dan penguatan dolar Amerika Serikat akibat sentimen lonjakan inflasi di AS mencapai 8,5% dan kenaikan lanjutan suku bunga acuan The Fed,” ujar Praska kepada Kontan.co.id, Senin (9/5).
Baca Juga: Reksadana Saham Catat Kinerja Apik, Reksadana Pendapatan Tetap Justru Tertekan
Berbanding 180 derajat, nasib reksadana pendapatan tetap justru terpuruk. Pasalnya, rata-rata kinerja reksadana pendapatan tetap yang tercermin melalui Edvisor Total Fixed Income Funds Index turun -0,73% sepanjang April 2022. Sekaligus membuat kinerjanya sepanjang Januari - April melemah -0,85%.
Praska menyebut, penurunan tersebut juga sejalan dengan melonjaknya yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun ke atas 7%. Selain itu, arus dana investor asing yang keluar dari pasar SBN sebanyak Rp16,4 triliun sepanjang April 2022 atau sebesar Rp 59,47 triliun sepanjag YTD (27 April 2022) turut menjadi katalis negatif.
Belum lagi adanya kenaikan suku bunga lanjutan oleh The Fed seiring lonjakan inflasi AS dan global. Kenaikan inflasi dalam negeri serta pelemahan nilai tukar rupiah seiring menguatnya indeks dolar AS semakin menjadi pemberat di pasar obligasi, terutama SBN yang bertenor panjang.
Memasuki bulan Mei ini, Praska melihat adanya potensi semua indeks pasar modal mengalami tekanan, baik saham maupun obligasi, terutama SBN. Menurutnya, hal itu dipicu oleh sejumlah katalis, seperti berakhirnya momentum earnings season kuartal IV-2021 dan musim dividen.
Selain itu, pasar juga akan merespon sikap The Fed yang agresif menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 bps menjadi 1%.
Baca Juga: Obligasi Indonesia Semakin Tertekan Setelah The Fed Menaikkan Suku Bunga
Lebih lanjut, tren penguatan indeks dolar AS di atas level 100 akan berpotensi melemahkan kurs rupiah di atas Rp14.500 per dolar AS. Belum lagi, kenaikan inflasi domestik, hingga potensi profit taking pada IHSG mengingat sudah cenderung jenuh beli (overbought) di atas level 7.200-an.
“Investor disarankan untuk buy on weakness secara bertahap jika terjadi pembalikan arah jika berinvestasi pada reksadana saham,” tutup Praska.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News