kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.057   73,61   1,05%
  • KOMPAS100 1.055   14,53   1,40%
  • LQ45 829   11,90   1,46%
  • ISSI 214   1,19   0,56%
  • IDX30 423   6,79   1,63%
  • IDXHIDIV20 510   7,68   1,53%
  • IDX80 120   1,66   1,40%
  • IDXV30 125   0,79   0,63%
  • IDXQ30 141   2,04   1,47%

Yield SUN Tembus 7%, Menyusul US Treasury yang Makin Tinggi


Selasa, 10 Mei 2022 / 07:20 WIB
Yield SUN Tembus 7%, Menyusul US Treasury yang Makin Tinggi


Reporter: Aris Nurjani | Editor: Wahyu T.Rahmawati

Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management (HPAM) Reza Fahmi mengatakan, keputusan agresif The Fed menaikkan suku bunga dapat mengerek yield obligasi terus menanjak. Hal ini tidak menguntungkan bagi pasar obligasi Indonesia. "Karena selisih yang kecil antara yield dengan US Treasury sehingga dapat memicu capital outflow dan hal tersebut bisa mendorong BI menaikkan suku bunga," ucap Reza. 

Reza mengatakan risiko capital outflow asing diprediksi masih cenderung lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2013, tahun 2015, ataupun tahun 2018. Hal ini karena investor asing menilai bahwa fundamental Indonesia masih cukup bagus.

Dia menambahkan, The Fed secara agresif menaikkan suku bunga karena inflasi yang terjadi sangat tinggi mencapai 7% lebih. Sedangkan di Indonesia inflasi saat ini berada pada kisaran 3% yang lebih rendah dibanding dengan suku bunga Bank Indonesia 3,5%.

Baca Juga: Wall Street Tumbang, Saham Teknologi Makin Tertekan

Data inflasi dalam negeri yang rilis hari ini akan jadi salah satu kunci penentu arah kebijakan suku bunga yang akan diambil oleh BI pada RDG tanggal 24 Mei nanti. 

Fayadri mengungkapkan, tidak berbeda dengan kondisi di pasar global, data inflasi sedang menjadi perhatian utama dan akan menjadi penentu arah kebijakan suku bunga yang selanjutnya akan memberikan dampak terhadap risk appetite investor terhadap pasar obligasi. Menurut Fayadri dibandingkan dengan tingkat inflasi, sebenarnya imbal hasil yang ditawarkan oleh obligasi Indonesia sudah menarik. 

"Namun masih besarnya tekanan inflasi, potensi kenaikan lanjutan suku bunga acuan serta tren pergerakan yield obligasi membuat investor lebih memilih untuk wait and see," kata Fayadri. 

Baca Juga: Terangkat IHSG, Reksadana Saham Berkinerja Paling Apik hingga April

Fayadri mengatakan strategi pengelolaan portofolio sangat tergantung pada risk appetite dari masing-masing investor. Investor yang berani mengambil risiko tinggi demi mendapatkan imbal hasil yang tinggi dapat memilih investasi pada saham atau obligasi. 

Investor yang cenderung tidak mau terpapar risiko tinggi dapat memilih reksadana atau deposito. Sedangkan investor yang ingin masuk ke pasar saham harus lebih jeli dan teliti melihat fundamental dan prospek bisnis emiten.

"Tingginya tekanan inflasi yang mendorong kenaikan suku bunga telah memberikan sentimen negatif terhadap pasar obligasi. Dalam kondisi pasar obligasi saat ini, investor perlu lebih cermat mengamati perkembangan inflasi serta arah kebijakan suku bunga sehingga bisa mendapatkan timing yang tepat untuk mendapatkan yield yang bagus," ujar Fayadri. 

Baca Juga: Kurs Rupiah Melemah Pada Perdagangan Senin (9/5) Efek Kenaikan Suku Bunga

Reza optimistis bahwa market di Indonesia masih akan terus meningkat di tengah kenaikan suku bunga, namun investor juga harus berhati hati dalam memposisikan dana dalam berinvestasi.

"Jadi para investor bisa mendiversifikasikan dananya ke dalam beberapa produk investasi, bisa ke reksadana saham dan pasar uang untuk menunggu posisi koreksi sehat IHSG dan setelah itu bisa masuk ke pasar saham ataupun reksadana saham di saat market sudah mulai kembali naik," tutup Reza. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×