Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kesepakatan dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang tak kunjung diteken kedua belah pihak menyulut kembali eskalasi ketegangan kedua negara tersebut.
Pasar obligasi pun merespon negatif kondisi tersebut, Presiden AS Donald Trump terus melemparkan pernyataan kontroversial.
Baca Juga: Wall Street tergelincir gara-gara pidato Trump dan Hong Kong kian mencekam
Tercatat, Credit Default Swap (CDS) atau indeks persepsi risiko investasi milik Indonesia naik sejak awal pekan ini. Berdasarkan Bloomberg, Rabu (13/11) CDS Indonesia tenor 5 tahun tercatat naik ke level 73,62 dari level terendah di Jumat (8/11).
Kenaikan juga terjadi pada CDS Indonesia tenor 10 tahun juga naik ke level 139,02 per Selasa (12/11) dari akhir pekan lalu berada di level terendah di 134,75.
Persepsi risiko investasi Indonesia yang tampak buruk ini membuat yield Surat Utang Negara (SUN) acuan naik. Sejak awal pekan ini, yield SUN menjauhi level 6% dan naik ke level 7,03% per Rabu (13/11).
Baca Juga: Trump bikin ulah, harga minyak melorot
Reita Farianti, Presiden Direktur BNI Asset Management mengatakan yield kembali naik meski suku bunga dalam tren menurun karena tensi geopolitik antara AS dan China memanas akibat belum disetujuinya fase pertama kesepakatan dagang.
"Risiko ini membuat naiknya volatilitas pasar, alhasil yield US Tresury tenor 10 tahun dan global termasuk Indonesia juga naik," kata Reita, Rabu (13/11).
Kompak, Direktur Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Maruto menambahkan, ketidakstabilan pasar muncul kembali setelah AS mengancam akan menaikkan bea masuk impor China secara signifikan jika kesepakatan dagang tak kunjung diteken.
Pernyataan Trump yang kontroversial seperti menyebut China curang juga menambah ketidakpastian pasar global.
Baca Juga: Besok, rupiah berpeluang kembali melemah karena sentimen AS
Selain, sentimen eksternal, Ramdhan mengamati yield berbalik naik karena juga terpengaruh sentimen teknikal setelah yield terus turun akibat penurunan suku bunga. "Sebagian memang ada investor yang melakukan aksi profit taking," kata Ramdhan.
Head of Fixed Income Fund Manager Prospera Asset Management Eric Sutedja juga mengatakan yield naik secara teknikal di saat harga obligasi sudah terus naik sejak awal Oktober.
Prospek
Di satu sisi, Ramdhan menilai fundamental dalam negeri masih kuat dan berpotensi bawa yield SUN kembali turun dan stabil di rentang 6,9% hingga 7%.
Baca Juga: Duh, peretas China diduga membobol data asosiasi industri AS terkait perang dagang
Senior Fixed Income Portfolio Manager SAM Herbie Mohede juga memproyeksikan yield SUN akhir tahun stabil di 7%. Yield SUN berpotensi turun bisa nilai tukar rupiah menguat.
Sementara, Eric memproyeksikan yield SUN acuan bisa turun ke level 6,9% di akhir tahun. Eric berharap defisit anggaran tidak akan sampai 2,3% dari produk domestik bruto (PDB). Dengan begitu, pemerintah akan menutup lelang.
"Terkait supply dan demand, jika suplai obligasi diberhentikan dan diasumsikan permintaan pasar tetap tinggi maka harga obligasi akan naik dan yiled turun," kata Eric.
Baca Juga: Perang dagang panas lagi, rupiah melemah
Reita juga melihat prospek yield di akhir tahun masih bisa turun ke level di bawah 7%. Sentimen pendorongnya, datang dari kemungkinan penurunan suku bunga yang masih terbuka karena nilai tukar rupiah stabil dan data neraca perdagangan membaik.
Selain itu, Reita menghitung real yield Indonesia cenderung lebih menarik dibanding negara-negara dengan rating sama. Alhasil, diproyeksikan dana asing masih akan deras masuk ke pasar obligasi domestik dan mendorong yield untuk turun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News