Reporter: Arvin Nugroho | Editor: Yudho Winarto
Dengan adanya perjanjian itu, China selama dua tahun ke depan harus membeli tambahan US$52,4 miliar gas alam cair, minyak mentah, produk olahan dan batu bara dari AS.
Tak hanya itu, perjanjian itu menunjukkan komitmen China untuk membeli setidaknya US$200 miliar tambahan barang dan jasa AS selama dua tahun ke depan, atau lebih dari dua kali lipat dari yang diekspor ke negara Asia pada 2017 senilai US$187 miliar.
Baca Juga: Ekspektasi pengurangan produksi membuat harga minyak mendidih
American Petroleum Institute (API) menilai setiap pembelian minyak mentah AS oleh China dapat menggantikan hampir sepertiga dari ekspor AS saat ini. Artinya, itu akan menekan kapasitas pengiriman yang ada selama dua tahun ke depan.
Meski mengalami kenaikan akibat kesepakatan fase pertama, jumlah itu tidak signifikan. Perkembangan korban virus corona yang meningkat tajam menjadi faktor penghambat naiknya harga minyak.
Peningkatan jumlah korban virus corona sendiri dipicu oleh perubahan metode dalam mendiagnosa virus. Digunakannya metode computed tomography (CT) scans membuat deteksi virus menjadi lebih cepat yang sebelumnya hanya menggunakan RNA Test.
Dengan begitu, Kamis (13/2) jumlah korban yang terdeteksi virus corona sebesar 14.840 orang. Hingga saat ini, telah dikonfirmasi sekitar 60 ribu orang terpapar virus corona. “Pasca virus bisa jadi komitmen trade deal fase satu akan diragukan,” kata Wahyu.
Baca Juga: Harga minyak kembali bangkit seiring meredanya kasus baru virus corona
Nanang mengatakan koreksi yang di alami saat ini secara teknikal merupakan hal yang normal. Penutupan harga harian di atas $51.56 akan memudahkan minyak ke area $52.34 dan $53.13, dimana target kuartal 1 berada di kisaran $53.
Nanang menghitung, ke depan harga minyak akan berada US$ 50 – US$ 51,65 per barel. Serta, untuk kuartal I berada di angka US$ 48,44 – 53,91.
Sementara Wahyu menghitung kisaran untuk tengah semester atau akhir semester akan berada di rentang US$ 40 – US$ 80 dengan konsolidasi di rentang US$ 50 – US$ 60 per barel. “Untuk akhir tahun masih berpotensi menguat dan menapaki kembali area $57 barel,” lanjut Nanang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News