CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.527.000   14.000   0,93%
  • USD/IDR 15.679   61,00   0,39%
  • IDX 7.314   70,61   0,97%
  • KOMPAS100 1.126   8,52   0,76%
  • LQ45 890   2,70   0,30%
  • ISSI 222   2,41   1,10%
  • IDX30 458   0,84   0,18%
  • IDXHIDIV20 553   -0,93   -0,17%
  • IDX80 129   0,66   0,51%
  • IDXV30 138   -0,49   -0,35%
  • IDXQ30 153   0,08   0,05%

Utang besar BUMN, sektor mana yang paling tertekan?


Kamis, 24 Oktober 2019 / 20:44 WIB
Utang besar BUMN, sektor mana yang paling tertekan?
ILUSTRASI. Layar pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta.


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Usai serah terima jabatan, Menteri BUMN Kabinet Indonesia Maju Erick Thohir sempat menyoroti soal utang perusahaan-perusahaan milik negara. Erick menegaskan agar BUMN tidak terjebak dengan utang. BUMN tetap harus bijak untuk memilih utang yang memberi dampak positif terhadap arus kas dan pendapatan.

Hasil riset Kontan.co.id menunjukkan, total utang berbagai macam perusahaan pelat merah yang sudah melantai di bursa mencapai Rp 3.130,99 triliun pada semester pertama. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama total utang negara di APBN mencapai Rp 4.570,17 triliun.

Dari data utang sejumlah emiten, Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus melihat ada beberapa emiten yang mengkhawatirkan. Terutama karena jumlah utang dengan prospek bisnis yang tidak sejalan, sehingga bisa membebani bisnis mereka. Namun, Nico enggan menjelaskan lebih lanjut.

Baca Juga: Kabinet baru diterima pasar, saham-saham emiten BUMN menguat

Menurut Nico, penggunaan utang sejatinya harus diukur lewat produktivitas perusahaan. Salah satunya bisa diukur dari serapan anggaran belanja terhadap aset perusahaan. Artinya, utang sebaiknya dilakukan untuk ekspansi bukan untuk menggali lubang tutup lubang. Perusahaan juga mesti memperhatikan rasio keuangan seperti debt to equity ratio (DER), non-performing loan (NPL) dan rasio solvabilitas lainnya.

Dengan tolok ukur tersebut, Nico menilai BUMN di sektor perbankan dan infrastruktur masih akan terus tumbuh. Alasannya, kedua sektor ini masih mendominasi dan pemerintah akan lebih banyak menggunakan BUMN untuk membangun infrastruktur. Kendati masih cukup prospektif, Nico tetap menilai keuangan BUMN di sektor infrastruktur masih akan tertekan.

Baca Juga: Jokowi: Formasi wamen sudah rampung, segera dilantik

“Karena infrastruktur merupakan proyek jangka panjang dan tidak akan berhenti di satu titik saja. Dia masih akan terus membangun. Dan ketika membangun tentu membutuhkan waktu sampai proyek tersebut mendatangkan pendapatan. Sehingga ada tenggat waktu antara pembangunan dan pendapatan,” jelas Nico kepada Kontan.co.id, Kamis (24/10).

Ambil contoh PT PP Tbk (PTPP). Direktur Keuangan PTPP Agus Purbianto menjelaskan, PTPP telah menyerap anggaran belanja modal sebesar Rp 3,45 triliun hingga kuartal ketiga. “Rencana penyerapan sampai dengan akhir tahun sebesar Rp 5,4 triliun,” jelas dia.

Serapan tersebut rencananya digunakan untuk properti sebesar Rp 1,48 triliun, infrastruktur Rp 2,89 triliun, energi Rp 178 miliar dan peralatan konstruksi Rp 877 miliar. Salah satu pendanaan berasal dari penerbitan surat utang atau obligasi. Dengan langkah tersebut PTPP berencana menambah utang dengan nilai maksimal Rp 1,5 triliun. Saat ini obligasi masih dalam tahap penawaran awal.

Baca Juga: Holding farmasi di depan mata, simak prospek Kimia Farma (KAEF) dan Indofarma (INAF)

Sebagai gambaran, per semester I-2019 PTPP tercatat memiliki utang sebesar Rp 37,1 triliun. Total utang ini terdiri dari utang jangka pendek sebesar Rp 26,49 triliun dan utang jangka panjang sebesar Rp 10,61 triliun.

Sementara total ekuitas PTPP mencapai Rp 16,4 triliun. Sehingga DER PTPP mencapai 2,26 kali. Menurut Nico rasio ini terbilang aman.  Adapun posisi kas pada akhir periode tercatat sebesar Rp 4,98 triliun.

Baca Juga: PTPP keukeuh ingin pegang saham mayoritas Krakatau Tirta Industri

Dalam waktu dekat, PTPP harus melunasi utang jatuh tempo senilai Rp 250 miliar. Jumlah tersebut berasal dari utang kepada Bank Mandiri Syariah sebesar Rp 50 miliar jatuh tempo pada 1 November 2019, utang kepada Bank Tabungan Negara sebesar Rp 100 miliar jatuh tempo pada 18 Desember 2019 dan MTN Tahap V Tahun 2016 yang jatuh tempo pada 16 Desember 2019 senilai Rp 100 miliar. “Itu utang dilunasi dari pencairan piutang dan itu bergulir, Nah atas utang yang dipergunakan untuk investasi di refinancing,” ujar Agus.

Agus berencana melakukan refinancing dengan upaya penerbitan instrumen jangka panjang seperti obligasi dan pinjaman sindikasi perbankan dengan tenor minimal lima tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×