Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjalani karir di industri reksadana pada akhirnya membuat Reita Farianti jatuh hati terhadap instrumen reksadana. Sosok yang kini menjabat sebagai CEO di PT Surya Timur Alam Raya (STAR) Asset Management ini mengaku sudah mengetahui produk reksadana sejak awal tahun 2000-an ketika dirinya bekerja sebagai bankir.
Namun, dia baru benar-benar memiliki produk reksadana pertamanya pada 2004 silam, setelah dirinya berganti pekerjaan dan masuk ke industri pasar modal. Bekerja di salah satu manajer investasi membuatnya lebih mengenal dan tahu seluk beluk soal reksadana. Ia bilang, saat itu industri reksadana masih sangat muda, bahkan masih sedikit masyarakat yang mengetahuinya.
“Reksadana pendapatan tetap ketika itu jadi primadona, karena iming-iming punya imbal hasil yang lebih besar dari deposito. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli juga produk reksadana pendapatan tetap,” kenang Reita ketika dihubungi Kontan.co.id belum lama ini.
Namun, baru setahun menjajal berinvestasi reksadana, Reita langsung dihadapkan dengan krisis mata uang setahun kemudian. Krisis ini memicu inflasi yang sangat tinggi sehingga membuat pemerintah harus menaikkan suku bunga acuan.
Petaka pun dihadapi para pemilik reksadana pendapatan tetap, pasalnya naiknya suku bunga acuan berarti harga obligasi pun terkoreksi. Imbal hasil yang sudah mencapai dua digit langsung lenyap, bahkan berganti merugi double digit. Reita bercerita bahwa terjadi kepanikan yang berujung net redemption besar-besaran.
Baca Juga: Balai Lelang Multinasional Kembali Menggelar Lelang Tas Branded Pekan Depan
Sebagai investor pemula, ia mengaku cukup terkejut dengan kondisi tersebut, namun dirinya justru belajar banyak dari kejadian tersebut. Terlebih lagi, posisi Reita saat itu mengharuskannya untuk bisa menenangkan dan mencari solusi bagi para nasabahnya yang panik.
Oleh sebab itu, ketika terjadi krisis subprime mortgage pada 2008, wanita bergelar magister manajemen keuangan ini justru tidak lagi panik. Bahkan, kondisi ini dinilai sebagai peluang baginya untuk menambah posisi di reksadana saham. Walaupun ia tak memungkiri ada sedikit rasa sakit melihat akumulasi dananya sejak 2005 harus terkoreksi hingga 50% ketika terjadi krisis.
“Tapi kerugiannya kan karena krisis global, bukan karena kinerja emiten yang jeblok, jadi saya yakin akan segera ada pemulihan. Artinya, koreksi besar-besaran saat itu ibarat flash sale, maka saya pun memberanikan diri menambah porsi di reksadana saham,” imbuhnya.
Ternyata keputusan Reita berbuah manis, hanya dalam kurun waktu sekitar satu tahun, Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadananya sudah kembali. Ia pun merasakan cuan besar. Berkat keuntungan tersebut, dia bisa menyekolahkan anak-anaknya di Amerika Serikat. Menurutnya, momen tersebut merupakan yang paling membahagiakan dalam perjalanan investasinya.
Sesuaikan Profil Risiko
Setelah memasuki usia kepala lima, Reita kini sudah menyesuaikan keranjang investasinya sesuai dengan profil risikonya. Jika sebelumnya ia menjadikan reksadana saham sebagai porsi terbesar, kini reksadana pendapatan tetap dan reksadana terproteksi jadi portofolio utamanya. Ia bilang, porsinya sekitar 50%. Sementara 25% ditempatkan di reksadana saham, lalu 15% untuk reksadana pasar, dan sisanya untuk polis asuransi.
Hal ini berbeda dengan keranjang investasi sebelumnya di mana porsi reksadana saham mencapai 40%, lalu 10% digunakan untuk trading saham. Berikutnya, reksadana pendapatan tetap sebesar 30%. Sementara untuk reksadana pasar uang dan asuransi masing-masing 10%.
“Sejauh ini, tujuan investasi kan sudah banyak yang tercapai, jadi sekarang fokusnya lebih untuk melindungi nilai investasi saja. Apalagi, profil risiko sekarang juga sudah tidak lagi agresif dulu,” terang wanita lulusan Universitas Padjadjaran ini.
Lebih lanjut, Reita mengungkapkan kebanyakan reksadana pendapatan tetapnya saat ini merupakan yang berbasis obligasi korporasi. Menurutnya, jenis ini kinerjanya lebih stabil, tidak seperti yang berbasis obligasi negara yang cenderung volatile.
Baca Juga: Agar Tidak Boros Menggunakan THR, CEO Indodax Tawarkan Investasi Kripto
Sementara untuk reksadana saham, ia juga memilih yang pengelolaannya pasif, alias reksadana berbasis indeks. Senada, alasan kinerja yang jauh lebih stabil jadi alasan utama baginya memilih instrumen tersebut.
Bagi Reita, dalam berinvestasi mengenali profil diri sendiri dan instrumen investasi yang dimiliki adalah hal yang paling penting. Untuk profil diri misalnya, menurutnya, investor harus tahu profil risiko, time horizon, hingga tujuan investasinya.
Sementara untuk mengenali instrumen investasi, maksudnya adalah tahu soal karakteristik sebuah instrumen. Oleh karena itu, seorang investor harus melakukan riset terlebih dahulu agar mengetahui karakteristiknya secara menyeluruh. Jangan sampai memilih instrumen hanya sebatas ikut-ikutan.
“Self assess itu paling utama, selalu ukur kemampuan dan batasan diri sendiri. Jangan sampai terayu ajakan dan bujukan orang lain dalam mengambil keputusan investasi,” katanya.
Kini, dengan industri reksadana yang sudah semakin matang dan beragam, serta informasi semakin tak terbatas, maka investor justru harus semakin jeli dalam mengambil keputusan. Reita menyarankan investor untuk memulai berinvestasi pada platform yang kredibel. Lalu, pilih reksadana yang memperlihatkan konsistensi dari sisi kinerjanya.
Setelah itu, pilih produk yang paling sesuai dengan risk profile, tujuan investasi, dan time horizon.
“Bagi investor pemula, tak ada salahnya memiliki reksadana saham, namun sesuaikan dengan toleransi risiko. Jika konservatif, bisa pilih yang berbasis indeks, jika agresif, maka pilih yang produknya banyak berisikan saham alpha seeker,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News