Reporter: Inggit Yulis Tarigan | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan menaikkan pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya mulai 17 Mei 2025 menjadi 10% dari harga acuan CPO. Pungutan ekspor CPO itu naik dari 7,5% saat ini.
Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas, Abdul Azis Setyo Wibowo menjelaskan bahwa kenaikan tarif ekspor dapat meningkatkan beban biaya bagi emiten, yang pada akhirnya berdampak pada kinerja laba bersih.
“Potensi pengaruh terhadap earnings sangat tergantung pada seberapa besar porsi ekspor dalam penjualan. Jika porsinya besar, maka dampaknya terhadap kenaikan cost juga signifikan,” terang Azis pada Kontan, (15/5).
Namun, Azis juga menekankan adanya sentimen penyeimbang yang dapat mendorong kinerja dari sisi top line, seperti kenaikan harga jual rata-rata (average sales price/ASP) dan permintaan domestik yang menguat berkat program biodiesel B40.
Baca Juga: CATL Bakal Pakai Dana IPO untuk Investasi Tambahan Baterai EV di Indonesia
“Emiten yang memiliki pangsa pasar domestik lebih dominan, seperti SSMS dan TAPG dapat lebih mampu menjaga margin keuntungan karena tidak terlalu terpapar pada kenaikan tarif ekspor,” tambahnya.
Sementara itu, Investment Analyst dari Edvisor Profina Visindo, Iqbal Suyudi menyoroti bahwa PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) lebih rentan terdampak karena 90% penjualannya berasal dari produk CPO dan turunannya yang diekspor.
“Sebaliknya, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) dinilai lebih tahan terhadap tekanan tersebut karena porsi penjualan domestiknya lebih besar,” jelasnya.
Iqbal memperkirakan bahwa secara sektoral, potensi koreksi laba bisa berkisar 5% hingga 10% secara tahunan (YoY) jika harga CPO global stabil dan tarif tetap diberlakukan. Namun jika harga CPO global mulai naik akibat permintaan yang pulih, penurunan laba bisa lebih tipis.
Analis Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan menambahkan bahwa jika kebijakan ini bertahan lebih dari tiga bulan, potensi koreksi pendapatan secara sektoral akan semakin besar, khususnya jika harga CPO global mulai melemah.
“Namun selama harga dunia masih tinggi dan permintaan dari negara besar seperti India dan China tetap kuat, tekanan masih bisa diredam,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ekky menilai bahwa meski ada tantangan dari sisi prospek, peluang penguatan jangka pendek masih terbuka, terutama karena pasar saham saat ini sedang dalam tren bullish.
“Hanya saja, investor perlu lebih selektif dalam memilih emiten sawit yang efisien dan punya daya tahan terhadap tekanan kebijakan ekspor baru ini,” tutupnya.
Baca Juga: GAPKI: Kenaikan Tarif Ekspor CPO Tekan Harga TBS Petani
Selanjutnya: Usai Kesepakatan Tarif, Peritel AS Mulai Borong Barang dari China
Menarik Dibaca: Promo JSM Hypermart Weekend 16-19 Mei, Aneka Sosis Kanzler Diskon sampai Rp 23.000
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News