kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Standar akuntansi baru PSAK 71, 72, dan 73 berlaku 2020, ini perbedaannya


Kamis, 09 Mei 2019 / 22:52 WIB
Standar akuntansi baru PSAK 71, 72, dan 73 berlaku 2020, ini perbedaannya
ILUSTRASI.


Reporter: Aloysius Brama, Cipta Wahyana | Editor: Yudho Winarto

PSAK 71

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 memberi panduan tentang pengakuan dan pengukuran instrumen keuangan. Standar yang mengacu kepada International Financial Reporting Standard (IFRS) 9 ini akan menggantikan PSAK 55 yang sebelumnya berlaku.

Selain soal klasifikasi aset keuangan, salah satu poin penting PSAK 71 adalah soal pencadangan atas penurunan nilai aset keuangan yang berupa piutang, pinjaman, atau kredit. Standar baru ini mengubah secara mendasar metode penghitungan dan penyediaan cadangan untuk kerugian akibat pinjaman yang tak tertagih. Jika berdasarkan PSAK 55, kewajiban pencadangan baru muncul setelah terjadi peristiwa yang mengakibatkan risiko gagal bayar (incurred loss), PSAK 71 memandatkan korporasi menyediakan pencadangan sejak awal periode kredit. Kini, dasar pencadangan adalah ekspektasi kerugian kredit (expected credit loss) di masa mendatang berdasarkan berbagai faktor; termasuk di dalamnya proyeksi ekonomi di masa mendatang. 

Berdasarkan standar akuntansi baru ini, artinya, korporasi harus menyediakan cadangan kerugian atas penurunan nilai kredit (CKPN) untuk semua kategori kredit atau pinjaman, baik itu yang berstatus lancar (performing), ragu-ragu (underperforming), maupun macet (non-performing).  Untuk kredit lancar, misalnya, korporasi harus menyediakan CKPN berdasarkan ekspetasi kerugian kredit dalam 12 bulan mendatang. 

Imbasnya, korporasi mesti menyediakan nilai pencadangan atas kredit atau piutang tak tertagih lebih besar dibandingkan sebelumnya. “Berdasarkan survei internasional, peningkatan pencadangan korporasi bisa mencapai 25% hingga 35%. Tentu, angka riil sangat tergantung negara, industri, dan kondisi masing-masing perusahaan,” ujar Rosita Uli Sinaga, Senior Partner Deloitte Indonesia.  Bagi industri perbankan, kewajiban untuk mengikuti cara pencadangan anyar ini bisa berujung pada penurunan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). 

Asal tahu saja, revisi standar pelaporan ini muncul sebagai respons terhadap kegagalan korporasi, utamanya di sektor finansial, mengantisipasi tsunami gagal bayar kredit akibat perubahan kondisi ekonomi yang mendadak pada tahun 2008. “Di masa lalu, pencadangan kredit dianggap terlambat (too late) dan terlalu kecil (to little),” ujar Djohan Pinnarwan, Ketua Dewan Standar Akutansi (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam Seminar Implementasi PSAK 71, 72, 73 yang digagas Kompas dan Kontan, Kamis, 9 Mei 2019 di Hotel JS Luwansa, Jakarta. Akibatnya, imbuh Djohan, tidak ada sinyal dari pasar bahwa tagihan itu tidak tertagih dari awal.​

PSAK 72 >>>



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×