Reporter: Dupla Kartini, Bloomberg | Editor: Dupla Kartini
MELBOURNE. Minyak mentah tumbang di New York, menuju pelemahan mingguan terbesar dalam tiga bulan terakhir. Koreksi terjadi lantaran investor berspekulasi sinyal perlambatan ekonomi di AS akan menggoyahkan permintaan bahan bakar di negara pengonsumsi minyak terbesar di dunia itu.
Kontrak minyak WTI untuk pengiriman September turun 50 sen ke US$ 86,13 per barel, di perdagangan elektronik di New York Mercantile Exchange, dan berada di posisi US$ 86,35 per barel, pada pukul 9.11 waktu Sydney. Kontrak yang sama kemarin anjlok US$ 5,30 ke US$ 86,63 per barel. Pada pekan ini, harganya sudah melemah 9,8%. Bahkan, minyak sudah tertekan 5,5% dalam tahun ini.
Sementara, minyak Brent untuk penyelesaian September jatuh US$ 5,98 atau 5,3% ke posisi US$ 107,25 di ICE Futures Europe, London, kemarin.
Reli harga minyak di tahun ini terhapus setelah AS merilis data klaim pengangguran dan penurunan kepercayaan konsumen ke level terendah lebih dari dua bulan. Kemarin, Departemen Tenaga Kerja menyebut klaim pengangguran hanya turun 1.000 menjadi 400.000, pada pekan yang berakhir 30 Juli. Sementara, indeks The Bloomberg Consumer Comfort minus 47,6 dalam sepekan yang berakhir 31 Juli, dari minus 46,8 pada periode sebelumnya. Itu yang terendah sejak Mei.
Adapun, hari ini, Departemen Tenaga Kerja AS akan merilis data pengangguran yang diprediksi bakal menunjukkan AS gagal menciptakan lapangan kerja yang cukup selama Juli untuk mengurangi pengangguran. Survei Bloomberg memprediksi tingkat pengangguran bakal bertahan di level 9,2%, setelah naik dalam tiga bulan terakhir.
Kepala ekonom energi dari Deutsche Bank AG Adam Sieminski menyebut, yang terlihat saat ini kekhawatiran terhadap permintaan yang disebabkan oleh kondisi perekonomian. "Pertumbuhan ekonomi mungkin melambat, dan perlambatan itu akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan permintaan minyak," ujarnya, di Washington, hari ini.
Pada 3 Agustus lalu, data Departemen Energi AS menunjukkan stok minyak mentah AS naik sebesar 950.000 barel menjadi 354,9 juta barel, dalam sepekan yang berakhir 29 Juli.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News