Reporter: Hasyim Ashari | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) kembali membukukan kinerja yang buruk pada kuartal I-2017. GIAA membukukan rugi senilai US$ 98,49 juta, rugi yang diderita GIAA akibat kenaikan bahan bakar avtur yang menyebabkan beban oprasional membengkak.
Tak hanya kali ini saja GIAA mencatatkan rugi, pada kuartal I tahun 2013 emiten penerbangan ini membukukan rugi sejumlah US$ 33,8 juta bahkan membengkak pada 2014 menjadi US$ 164 juta. Sempat membaik pada kuartal I-2015, membukukan laba senilai US$ 11,4 juta namun pada periode sama tahun 2016 labanya kembali menurun menjadi US$ 1 juta.
Analis Samuel Sekuritas Akhmad Nurcahyadi menilai, sepanjang tahun 2017 GIAA diprediksi akan membukukan rugi bersih. Ini disebabkan GIAA tidak akan menikmati benefit trend penurunan harga minyak dunia yang berpengaruh positif pada beban operasional penerbangan (fuel cost). "Kami memproyeksikan GIAA akan membukukan rugi bersih tahun ini," ujarnya dalam riset 2 Mei 2017.
Tercatat pada kuartal satu kemarin beban oprasional penerbangan naik 23,83% year on year (yoy) telah mendorong naiknya jumlah total beban usaha sebesar 20,32% (yoy). Sementara fuel cost yang menyumbangkan 38,3% pada beban operasional penerbangan pada kuartal I 2016, melonjak menjadi 47,6% (yoy) seiring dengan lonjakan beban bahan bakar sebesar 53,99% (yoy).
Meskipun demikian, GIAA masih mampu membukukan pertumbuhan volume dan kinerja indikator operasional lainnya. Available seat kilometres (ASK) dan revenue passenger kilometres (RPK) masing-masing naik 10,9% (yoy) dan 15,2% (yoy) dengan catatan pax carried yang masih tumbuh 8,4% (yoy) menjadi 8,4 juta passenger.
Di kuartal berjalan, kinerja indikator oprasional masih akan tertekan di tengah persaingan yang semakin tajam di pasar Full Service Carriers (FSCs). "Kami berharap segmen Low Cost Carriers (LCCs) atau Citilink akan berperan signifikan menjaga angka pertumbuhan pax carried grup Garuda," kata Akhmad.
Analis Mirae Asset Sekuritas Taye Shim berpendapat ditengah persaingan ketat untuk mengisi kursi di segmen penumpang, GIAA nampaknya terus fokus pada penetrasi segmen kargo. Tercatat pendapatan kargo melanjutkan penguatan dengan FSCs tumbuh 21,6% menjadi 90.500 ton dan segmen LCCs tumbuh 13,5% menjadi 17.900 ton.
Menurut Akhmad dorongan kinerja indikator oprasional yang membaik telah membantu GIAA membukukan pertumbuhan pendapatan sebesar 6,2% menjadi US$ 782 juta. Schedule airline sebagai kontributor utama naik 4% sedangkan non -schedule airline dan bisnis lainnya tumbuh 22,5%.
Taye Shim juga menilai rendahnya pertumbuhan pendapatan disebabkan permintaan musiman yang lemah dan persaingan yang semakin ketat. "Dengan demikian tidak dapat menutupi kenaikan tajam biaya selama kuartal tersebut," ujarnya dalam riset 2 Mei 2017.
Masih ada harapan
Pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) GIAA pada (12/4) lalu menetapkan Pahala Mansyuri sebagai nahkoda baru Garuda Indonesia. Dengan pengalaman sebagai CFO Bank Mandiri, Mansyuri diharapkan akan hati-hati menilai keuangan GIAA dan menambah stabilitas.
"Sebab volatilitas pendapatan adalah salah satu faktor yang mendiskon emiten maskapai penerbangan. Sedangkan untuk stabilitas atau kejelasan pendapatan yang lebih baik akan meminimalisasi diskon terhadap valuasi," papar Taye Shim.
Sementara Analis Ciptadana Sekuritas, Zabrina Raissa memaparkan bahwa Terminal baru 3 Ultimate di Bandara Soekarno Hatta akan dibuka pada 17 Mei mendatang. Terminal ini khusus untuk penerbangan internasional, rencananya GIAA menjadi maskapai pertama yang akan mengoperasikan penerbangan internasionalnya melalui terminal tersebut.
"Ini menandakan kesiapan maskapai untuk memberikan pelayanan terbaik kepada penumpang," ujar Zabrina.
Karena itu Akhmad merekomendasikan hold dengan target harga Rp 420, Sementara Taye merekomendasikan buy dengan target harga Rp 444 dan Zabrina merekomendasikan hold dengan target harga Rp 380.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News