Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Yudho Winarto
Sentimen positif ini dapat dilihat dari maraknya perusahaan yang mulai membangun teknologi Blockchain sendiri dan perbincangan di ruang kelas, seminar, hingga obrolan sehari-hari.
"Teknologi Blockchain hingga tahun 2050 diperkirakan akan mampu menyumbang lebih dari 10% GDP global," prediksinya.
Selain itu, beberapa faktor seperti momentum Halving Day yang semakin dekat dinilai bakal mendorong tren kenaikan harga bitcoin.
Baca Juga: Beri tepuk tangan, Bitcoin sudah meroket 9.000.000% dalam satu dekade
Peristiwa ini membuat nilai peredaran bitcoin cenderung berkurang. Alhasil dengan angka permintaannya yang terus naik, sangat besar peluang bitcoin akan kembali meroket.
Ditambah lagi, kondisi ekonomi yang semakin tidak menentu akibat perang dagang ataupun perang mata uang. Hal ini diikuti melambatnya ekonomi global di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, China, Eropa, dan Australia yang mendorong beberapa bank sentral mengambil kebijakan Dovish, atau pelonggaran moneter.
"Akibatnya, masyarakat dunia semakin memilih bitcoin dan percaya bahwa bitcoin dan aset kripto adalah alternatif terbaik untuk menyelamatkan kekayaan selain melalui aset konvensional lainnya seperti emas," jelas Oscar kepada Kontan.co.id, Kamis (9/1).
Adapun sentimen yang bakal mengancam harga bitcoin adalah ketika market jenuh atau dikenal dengan istilah low season. Ketika market jenuh, maka ekosistem penjualan dan pembelian Bitcoin akan stagnan.
Baca Juga: Bursa kripto global KuCoin gandeng Tokoin untuk mendorong adopsi blockchain
Hal tersebut mengakibatkan harga Bitcoin statis dan menyebabkan pengguna tidak melihat Bitcoin sebagai investasi aset yang bernilai tinggi.
"Semua kemungkinan (tembus US$ 10.000 per btc) akan selalu ada. Hal penting yang harus selalu diingat bahwa faktor utama yang menyebabkan harga BTC kembali meroket adalah supply dan demand," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News