Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
Ketiga, utilisasi pabrik yang sudah sangat rendah sehingga kemungkinan akan membaik. Keempat, potensi pemangkasan suku bunga acuan dapat mendorong permintaan properti oleh publik.
Tahun ini, Emma memprediksi pertumbuhan kinerja penjualan semen, akan tetap tumbuh, meskipun tidak besar alias single digit, yaitu di kisaran 0%-5%. Dibanding tahun 2022, kinerja penjalan semen turun (-3%).
“Pertumbuhan penjualan semen itu, ditambah masih menjanjikannya konsumsi rumah tangga nasional, diprediksi akan turut menopang ketahanan perekonomian nasional,” paparnya.
Baca Juga: Semen Tonasa Berkomitmen Melindungi Warisan Budaya Dunia di Bulu Sipong
Emma mengakui, harga saham perusahaan-perusahaan di pasar, seperti halnya produsen semen, masih tertekan. Saat ini, harga INTP masih berada di kisaran Rp 5.500-Rp 5.900 (-2% YTD) dan SMGR di kisaran Rp 9.500-Rp 10.000 (-11% YTD).
Namun, Emma optimistis saham semen masih sangat menarik untuk investor asing, mengingat kinerja keuangannya memiliki profitabilitas tinggi, yaitu margin laba kotor (GPM) sekitar 30%, dibanding industri semen global, terutama China dan negara Asia lain.
Kinerja itu, tutur Emma, berbalik dari valuasi harga sahamnya di pasar di mana valuasi produsen semen lokal masih lebih murah (sekitar 20x PE ratio) dibanding negara Asia lain (sekitar 35x PE ratio).
“Saat ini di pasar saham, pelaku pasar sedang beradaptasi dengan proses normalisasi batas maksimal penurunan harga saham di pasar (auto reject bawah/ARB),” ungkapnya.
Emma merekomendasikan Buy untuk saham SMGR dan INTP dengan target harga masing-masing Rp 8.500 dan Rp 14.000 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News