Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sejak awal tahun, arus masuk investor asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 24,4 triliun hingga 28 April lalu. Tenor pendek menjadi favorit investor asing di tengah ketidakpastian yang masih membayangi ekonomi global.
Fixed Income Analyst Pefindo Ahmad Nasrudin menyoroti aksi beli neto asing di pasar SBN yang dominan di tenor 0–1 tahun. Memang sepanjang April, data DJPPR menunjukkan jumlah beli neto untuk tenor tersebut mencapai Rp 26,13 triliun, cenderung lebih signifikan dari lainnya.
“Ini terjadi karena asing mencoba memanfaatkan kemungkinan volatilitas dalam jangka pendek ini untuk mendapatkan keuntungan,” sebut Ahmad kepada Kontan, Senin (5/5).
Sebagai perbandingan, tenor 1–2 tahun justru jual neto Rp 10 triliun, tenor 2–5 tahun jual neto Rp 12,1 triliun, tenor 5–10 tahun beli neto Rp 1,88 triliun, dan tenor di atas 10 tahun yang beli neto Rp 1,9 triliun.
Baca Juga: Turut Terimbas Efek Domino Kebijakan Trump, Ini Faktor yang Pengaruhi Aliran SBN
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa investor asing masih berspekulasi dalam memandang potensi pasar SBN. Itu karena investor cenderung mengantisipasi penundaan tarif “timbal balik” yang akan berakhir di akhir Juni nanti.
Kata Ahmad, tenor pendek relatif memang lebih stabil daripada tenor panjang ketika volatilitas meningkat. Investor bisa mendulang untung lebih cepat jika terjadi perubahan arah kebijakan.
“Selain itu, tenor pendek menawarkan fleksibilitas untuk memanfaatkan timing, yakni ketika tekanan di pasar meningkat dan harga terkoreksi, asing memiliki dana jumbo untuk memborong surat utang karena beberapa investasi jangka pendek mereka jatuh tempo,” lanjut Ahmad.
Baca Juga: Depresiasi Rupiah Dorong Investor Asing Masuk ke SBN, Begini Proyeksi ke Depan
Menakar Dampak Kebijakan Trump
Menurut Ahmad, kebijakan Trump masih akan menjadi sentimen utama yang akan memengaruhi pasar SBN. Sebab, tekanan masih akan meningkat akibat kebijakan Trump yang cenderung mendorong inflasi dan meningkatkan tekanan harga di pasar Amerika Serikat (AS).
“Kebijakan kenaikan tarif akan memicu tekanan harga, meskipun besaran dampaknya akan tetap bergantung pada stance agresivitas Trump pasca penundaan penerapan kebijakan tersebut,” papar Ahmad.
Namun, ada sinyal positif dari AS dan China yang mulai melakukan perundingan. Dus, perang dagang mulai kurang menjadi fokus utama seiring dengan meningkatnya kemungkinan kesepakatan antara AS dengan India, Jepang, dan Korea Selatan di antara negara-negara lain.
Dengan kondisi tersebut, yield 10 tahun US Treasury sempat turun ke 4,162% pada hari Rabu, (30/4) dari 4,235% pada Jumat (25/4). Penurunan tersebut juga berdampak positif bagi yield 10 tahun Indonesia yang turun dari 6,923% menjadi 6,875% pada periode yang sama.
Selanjutnya: Adu Kencang Pertumbuhan Laba Bank KBMI 3, Siapa Paling Melesat?
Menarik Dibaca: Sinopsis Spring of Youth, Drakor Romance Remaja Terbaru di Netflix
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News