Reporter: Yuliana Hema | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Bursa Asia kembali sumringah usai China dan Amerika Serikat (AS) mencapai kesepakatan untuk menurunkan tarif impor dan melakukan penundaan pengenaan tarif tersebut.
Tarif AS atas impor barang-barang China akan turun dari 145% menjadi 30%. Kemudian tarif China untuk barang-barang AS dipangkas dari 125% menjadi 10%.
Keduanya juga menyetujui memberlakukan tarif impor sebesar 10% selama 90 hari ke depan. China juga membatalkan tindakan lain, seperti ekspor mineral penting ke AS sebagai balasan perang tarif AS.
Mayoritas bursa Asia ditutup menguat pada perdagangan Selasa (13/5), indeks asal China, yakni Shanghai Composite Index menguat 0,17% dibanding penutupan sebelumnya.
Baca Juga: AS dan China Sepakat Pangkas Tarif 115% Selama 90 Hari
Indeks asal Jepang, Nikkei 225 juga menguat 1,43%. Penguatan juga terjadi pada indeks Korea Selatan, KOSPI sebesar 0,04%. Namun indeks asal Kong Kong, yakni Hang Seng justru ditutup melemah 1,87%.
Kenaikan tajam juga terjadi di tiga indeks utama Wall Street pada Senin (12/5). Melansir Reuters, Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 2,81% dan menjadi yang tertinggi sejak awal Maret.
S&P 500 melonjak 3,26%, tertinggi sejak 3 Maret 2025. Lalu, Nasdaq Composite meningkat 4,35%, ini merupakan penutupan tertinggi sejak 28 Februari 2025.
Nasdaq sudah pulih lebih dari 22% dari level terendah saat penurunan pasar April lalu, Meski begitu, Nasdaq masih sekitar 8% di bawah rekor tertingginya pada 16 Desember 2024.
Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata bilang investor merespons positif gencatan tarif selama 90 hari yang diumumkan usai pertemuan tingkat tinggi AS-China di Geneva, Swiss.
Baca Juga: AS-China Sepakat Turunkan Tarif Dagang, Harga Minyak Melonjak Lebih 3%
Dia mengatakan penguatan pasar global mencerminkan kelegaan investor terhadap risiko perang dagang. Ini akan menurunkan eskalasi tensi dagang ke level yang lebih masuk akal.
"Sehingga dampak negatif dari trade war kemungkinan akan menjadi lebih terkendali dan terukur, sejatinya kepercayaan pasar terhadap Trump dan stabilitas kebijakan ekonomi masih rapuh," jelasnya, Selasa (13/5).