Sumber: KONTAN | Editor: Didi Rhoseno Ardi
JAKARTA. Sentimen negatif masih menghinggapi PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) dan satu anak usahanya, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG). Meski harga saham beberapa anak usaha Grup Bakrie lain mulai pulih, nasib induk usaha raksasa bisnis milik Keluarga Bakrie ini tetap merana. Sejak awal bulan ini hingga kemarin, harga saham Bakrie & Brothers mentok di level terendah, yaitu Rp 50 per saham.
Setiap hari, sejak otoritas bursa mencabut penghentian sementara atau suspend perdagangan saham bersandi BNBR ini pada 18 November 2008, harganya selalu anjlok 10% dan terkena mekanisme auto rejection batas bawah. Jadi, sejak sebelum suspend hingga kini harga saham ini sudah terpangkas 65,5%, dan akhirnya terdiam di level Rp 50 per saham sejak 2 Desember 2008.
Sesungguhnya, jika tak ada pembatasan level terendah harga saham Rp 50, niscaya harga saham BNBR akan terus merosot. Indikasinya, kemarin, antrean jual saham BNBR mencapai 3,99 juta lot saham atau sekitar 1,99 miliar saham. Tapi, para investor hanya bisa gigit jari karena tak ada yang mau membelinya.
Alhasil, mereka rela membanting harga saham BNBR di pasar negosiasi. Tak heran, perdagangan saham BNBR di pasar negosiasi lebih ramai ketimbang di pasar reguler. Tentu saja, harganya di bawah Rp 50 per saham. Harga saham BNBR di pasar negosiasi yang paling murah adalah Rp 33 per saham.
Nasib serupa juga menimpa anak usaha BNBR yaitu PT Energi Mega Persada Tbk. Harga saham perusahaan minyak dan gas bumi ini terus merosot 10% tiap hari sejak pencabutan suspend 18 November 2008. Kemarin, harganya anjlok 9,2% ke posisi Rp 79 per saham. Antrean jual mencapai 209,54 juta saham.
Sedangkan saham-saham anak usaha BNBR lainnya, yaitu PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP), PT Bakrieland Development Tbk (ELTY), dan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) mulai naik.
Suherman Santikno, Kepala Riset PT Batavia Prosperindo Asset Manajemen, menilai para investor berniat terus menjual saham BNBR karena perusahaan ini memiliki utang segede gajah bengkak, sementara asetnya mulai kopong. "Saat ini BNBR sudah tidak lagi menguntungkan buat investor," imbuh dia.
Harga Rp 50 masih mahal
Saat ini, hampir seluruh aset perusahaan induk Grup Bakrie ini yang berupa kepemilikan saham di lima anak usaha, sudah tergadaikan sebagai jaminan utang. Malahan, BNBR berpotensi kehilangan saham-saham tersebut karena kesulitan membayar utang. "Harga saat ini (Rp 50 per saham) masih terbilang mahal jika kita melihatnya dari sisi valuasi sahamnya," ujar Suherman.
Di sisi lain, BNBR belum juga melansir laporan keuangan kuartal ketiga 2008. Suherman menilai manajemen BNBR belum menjelaskan secara transparan tentang segala rencana dan ekspansi perusahaan ini ke depan.
M. Alfatih, Analis BNI Securities, menambahkan, para investor menjauhi saham BNBR karena perusahaan ini sedang kesulitan likuiditas. "Memiliki saham ini sangat berisiko bagi investor," imbuhnya. Nasib BNBR makin di ujung tanduk karena kepemilikan saham di berbagai anak usaha kian menciut.
Seperti kita ketahui, BNBR sedang terbelit utang kepada sembilan kreditur senilai US$ 1,15 miliar dan Rp 501,7 miliar. Sebagian utang itu akan jatuh tempo bulan ini hingga April tahun depan. Semula, perusahaan ini berencana melunasi utang itu dengan menjual kepemilikan saham di lima anak usahanya. Belakangan, BNBR membatalkan rencana itu. Ia misalnya batal menjual 35% saham BUMI ke Northstar Pacific. Sebagai gantinya, perusahaan itu berupaya merestrukturisasi tumpukan utangnya.
Rencananya, besok (11/12), BNBR akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk meminta restu rasionalisasi aset-aset perusahaan. "Kami masih berusaha menyelesaikan program rasionalisasi ini," kata Direktur BNBR Dileep Srivastava kepada KONTAN, dua hari lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News