Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) belum akan berdampak signifikan bagi apresiasi rupiah. Tekanan dari eksternal utamanya mengenai arah suku bunga Amerika Serikat (AS) masih menjadi ancaman besar bagi pasar nilai tukar.
Seperti diketahui, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 basis poin menjadi 6,25% dalam rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia, Rabu (24/4). Ini merupakan kenaikan BI rate yang pertama tahun 2024, setelah terakhir kali BI menaikkan suku bunga pada bulan Oktober 2023.
Menurut Pengamat Mata Uang dan Komoditas Lukman Leong, efek dikereknya suku bunga acuan tersebut tidak akan bisa menguatkan untuk saat ini. Tetapi, langkah tersebut paling tidak bisa menghindari rupiah dari kejatuhan yang lebih dalam.
Lukman menjelaskan, persoalannya adalah dolar AS masih sangat tangguh saat ini. The greenback didukung statusnya sebagai aset safe haven di tengah ketidakpastian perang geopolitik. Investor banyak berburu dolar saat tensi perang antara Israel dan Iran meningkat akhir-akhir ini.
Baca Juga: Lesu, Rupiah Spot Ditutup Melemah ke Rp 16.210 Per Dolar AS Pada Hari Ini (26/4)
Di sisi lain, fundamental dari angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi AS masih cukup bagus, meski data perdagangan dan penjualan ritel masih lemah. Akibatnya, prospek pemangkasan suku bunga the Fed telah mundur hingga September dari sebelumnya Juni 2024.
The Fed diperkirakan hanya akan memangkas satu kali bunga acuan sebesar 25bps, dan bahkan tidak sedikit pelaku pasar yang memperkirakan adanya potensi suku bunga tidak bakal dipangkas sama sekali tahun ini. Namun, tentunya ekspektasi ini masih bisa berubah ke depannya apabila data ekonomi AS berubah terutama pada inflasi dan tenaga kerja.
“Jadi rupiah masih akan terus tertekan oleh prospek suku bunga dan ketidakpastian global,” ujar Lukman.
Presiden Komisioner HFX International Berjangka, Sutopo Widodo, turut mencermati bahwa rupiah tetap rentan mengalami pelemahan, meski terpantau menguat dalam pekan ini.
Sebab, perkiraan suku bunga The Fed yang tinggi dan ketidakstabilan geopolitik di Timur Tengah masih akan mendorong kenaikan signifikan pada dolar AS.
”Rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi AS, dibanding data ekonomi dalam negeri. Sentimen pasar ini cenderung merugikan rupiah, meskipun data ekonomi dalam negeri cukup baik,” jelas Sutopo saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (26/4).
Solidnya perekonomian domestik belum mampu mengangkat rupiah untuk jangka panjang. Seperti diketahui, surplus neraca perdagangan Indonesia bulan Maret 2024 meningkat jadi US$4,47 miliar dari US$0.83 miliar pada Februari 2024.
Baca Juga: Metropolitan Land (MTLA) Catat Marketing Sales Rp 438 miliar di Kuartal I-2024
Sutopo bilang, investor akan tertuju pada rilis inflasi Price Consumption Expenditure (PCE) AS sebagai ukuran inflasi favorit The Fed. Di mana, indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi di AS kemungkinan naik 0,3% pada basis bulanan di bulan Maret 2024, sama seperti bulan Februari.
Selain itu, indeks inti yang tidak termasuk makanan dan energi, diperkirakan naik 0,3%, menyamai kenaikan bulan sebelumnya. Akibatnya, prospek terjadinya penurunan suku bunga AS mungkin di bulan September atau Desember 2024, dengan 1 atau 2 kali pemangkasan saja.
“Angka perkiraan ini akan membuat The Fed semakin mengundurkan waktu penurunan suku bunga. Hal ini terlihat dari komentar anggota Fed yang cenderung kurang dovish,” imbuh Sutopo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News