Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Posisi rupiah telah menyentuh level Rp 13.700, posisi terakhir sejak Februari 2017 lalu. Bagi emiten, efeknya bakal paling terasa bagi perusahaan yang berhubungan dengan ekspor, impor dan memiliki obligasi terbitan di bursa asing.
Volatilitas rupiah kali ini dinilai murni lantaran pengaruh pasar global, terutama antisipasi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed. Sesuai tren historis, mata uang dollar kerap naik tajam seiring mendekatnya tanggal rapat gubernur dewan The Fed. Apalagi konsensus pasar yakini rapat tersebut bakal menyuarakan kenaikan suku bunga pertama AS untuk tahun 2018.
Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Isaka Yoga menyatakan, efeknya ke emiten Indonesia akan mempengaruhi perusahaan yang berhubungan langsung dengan aktivitas dagang asing.
Untung bagi emiten yang ekspor karena mendapat dollar lebih, dan buntung bagi emiten impor yang harus menukar rupiah lebih mahal demi dollar. Namun emiten sendiri tidak bisa banyak merespon kecuali mengatur ulang strategi internal mereka.
"Rupiah ini kan naik turunnya di luar kontrol emiten dan di luar negara, karena ini mekanisme pasar jadi yang harus mereka lakukan adalah seperti tahun lalu, efisiensi dan mengurangi utang asing, terutama expose utang asing," jelasnya kepada KONTAN, Kamis (1/3).
Pengurangan utang asing terutama bagi emiten seperti PT Jasa Marga Tbk (JSMR) yang menerbitkan global bond di bursa London akhir 2017 lalu.
Namun Isaka yakin, emiten plat merah seperti JSMR sudah memiliki strategi yang dapat mengamankan pembayaran kupon dan tetap mempertahankan image-nya di mata investor asing. Pun minat investor asing pada obligasi korporasi global juga tidak akan langsung terkoreksi, kecuali bila rating surat hutang Indonesia ikut terpengaruh dan menyebabkan penurunan peringkat.
"Tapi itu juga tidak mungkin, karena fundamental kita kuat dan ada kemungkinan dinaikkan ratingnya oleh lembaga lain," jelas Isak.
Ke depan, Isaka melihat satu-satunya langkah emiten untuk menghadapi kondisi rupiah lemah adalah melakukan efisiensi. Di antaranya adalah mengurangi penggunaan dollar dan mengurangi pembelian bahan baku.
Namun bila kondisi ini terus berlangsung dapat mempengaruhi kinerja produksi karena terhambat pengadaan barang. Namun bila emiten terus mengikuti arah mata uang rupiah yang semakin mahal, maka akan semakin membebani kas keuangan emiten.
Selain itu, strategi hedging dollar juga bisa dilakukan. Namun ada risiko emiten harus membayar underlying asset yang tinggi untuk melindungi nilai tukar antara rupiah dan dollar tersebut. "Apalagi dengan fluktuasi dollar tinggi maka risikonya tinggi juga, maka biaya hedging itu juga akan jadi sangat mahal, jadi tidak bisa mereka lakukan hedging, harus hitung-hitungan yang kuat," jelasnya.
Adapun sejumlah sektor emiten yang bakal terpukul berat adalah emiten yang kuat dalam impor bahan baku dari luar, misal emiten sektor obat dan sektor tekstil.
Mereka menghadapi risiko besar dibandingkan emiten orientasi ekspor yang menggunakan bahan baku lokal sehingga bakal untung ketika menjualnya ke konsumen global, misalnya seperti emiten komoditas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News