Reporter: Ruisa Khoiriyah, Agustinus Beo Da Costa | Editor: Ruisa Khoiriyah
JAKARTA. Rencana PT Cowell Development Tbk (COWL) menerbitkan saham baru melalui aksi rights issue, dibayangi kabar tidak sedap. Perusahaan properti itu diberondong banyak pertanyaan dari publik, utamanya terkait tujuan penggunaan dana dan besarnya potensi dilusi saham akibat rights issue.
Dalam prospektus yang dipublikasikan awal Oktober lalu, Cowell mengumumkan rencana penawaran umum terbatas I melalui penerbitan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) alias rights issue, sebanyak 4.115.987.041 saham. Harga penawarannya, Rp 220 per saham.
Alhasil, potensi dana yang bisa diraup Cowell, Rp 905,52 miliar. Setiap pemegang 20 saham lama, berhak atas 109 saham baru. Jika tidak mengambil haknya, saham investor lama berisiko terdilusi 84,5%. Cowell akan memakai 99,40% atau US$ 93,73 juta dana hasil rights issue itu untuk membeli 99,98% saham Boliden Properties Ltd di PT Plaza Adika Lestari (PAL).
Anehnya, nilai aset PT PAL cuma Rp 509,19 miliar, per 30 Juni 2012. Nilai utang alias kewajibannya Rp 299,38 miliar, dengan laba bersih periode berjalan, sebesar Rp 14,5 miliar.
Kiswoyo A. Joe, Managing Partner Investa Saran Mandiri, menghitung, berdasarkan profil PAL yang seperti itu, Cowell membutuhkan waktu sekitar 20 tahun hingga 50 tahun untuk balik modal atawa break event point (BEP).
Melihat hal itu, keinginan Cowell membeli PAL, terbilang ganjil. "Tidak ada satu pun yang mau membeli aset dengan BEP hingga puluhan tahun seperti itu," tandas dia, kemarin (7/11).
PAL merupakan pengelola pusat perbelanjaan Plaza Atrium, pusat perkantoran Graha Atrium, pertokoan pusat niaga Kawasan Segitiga Senen serta sentra usaha perbengkelan Atrium Service Point.
Transaksi afiliasi?
Kiswoyo menilai, langkah membeli aset di Senen dengan harga mahal, tidak strategis. Pasalnya, sebagai pengembang properti segmen menengah, profil Senen tidak cocok dengan Cowell. "Senen itu aset kelas bawah," kata Kiswoyo.
Janson Nasrial, analis AM Capital, juga menilai, rencana Cowell itu tidak tepat. "Daripada mengakuisisi PAL, lebih baik mereka membeli cadangan lahan alias landbank untuk membangun perumahan," ujar dia.
Asal tahu saja, sejak tahun 2011, Cowell tidak diketahui menambah landbank. Dalam penjelasan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (2/11), perseroan beralasan, pencarian lokasi landbank baru dan strategis terbilang sulit karena persaingan ketat di bisnis properti.
Yang juga janggal adalah profil Boliden Properties Ltd, pemilik 99,98% saham PAL yang hendak dibeli Cowell. Dalam prospektus, Boliden yang beralamat di Kepulauan Seychelles, hanya memiliki ekuitas senilai US$ 100. Perusahaan asing itu diketahui dimiliki oleh ultimate shareholder bernama Teo Ai Lin Daphne.
Keganjilan semakin tercium jika menilik sejarah PAL yang pernah dimiliki oleh PT Indokisar Jaya. Sedang Cowell sendiri, hingga tahun 2000 masih dimiliki oleh PT Indokisar Jaya, sebelum akhirnya dibeli oleh pemilik saat ini, PT Gama Nusapala.
Hal itu yang memicu kecurigaan, bahwa transaksi pembelian PAL oleh Cowell merupakan transaksi oleh pihak yang saling terkait atau terafiliasi.
Ketika dikonfirmasi oleh KONTAN, Selasa (6/11), Darwin F. Manurung, Sekretaris Perusahaan Cowell Development, membantah dugaan itu. "Mana buktinya kalau itu transaksi afiliasi? Semua sudah melalui proses legal dan diaudit. Kami juga telah melapor ke otoritas," ujar dia.
Dalam penjelasannya ke BEI, Cowell menegaskan, tidak ada hubungan afiliasi antara perseroan atau pemegang saham perseroan dengan PAL atau pemilik PAL. Sekadar informasi, Cowell saat ini juga berkantor di Graha Atrium. Cowell juga optimistis, investasinya membeli PAL bisa balik dalam waktu tujuh tahun.
Boleh jadi, akibat masih simpang siurnya isu di seputar rencana rights issue COWL ini, perseroan memutuskan mengundurkan jadwal rapat umum pemegang saham luar biasa, dari semula, 9 November, menjadi 14 November.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News