kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Manfaatkan momentum, ajak investor injeksi modal


Jumat, 19 Oktober 2012 / 10:55 WIB
Manfaatkan momentum, ajak investor injeksi modal
ILUSTRASI. Pasta Carbonara yang creamy menjadi salah satu sajian utama yang wajib dibeli ketika sedang berkunjung ke Restoran Italia. (Dok/Unilever Food Solution)


Reporter: Yuwono Triatmodjo, Dessy Rosalina | Editor: Imanuel Alexander

PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) dan PT Cowell Development Tbk (COWL) tak ingin melewatkan situasi yang positif di bursa untuk menerbitkan saham baru senilai triliunan rupiah. Lantas, bagaimana prospek dua saham ini ke depan?

Jumat dua pekan lalu (5/10), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menorehkan rekor baru sepanjangm sejarah di level 4.311,31. Ini kabar baik bagi PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) yang sehari sebelumnya merilis prospektus yang berisikan rencana penerbitan saham baru dengan hak memesan efek terlebih dahulu (rights issue).

Situasi yang kondusif ini tampaknya menjadi saat yang tepat bagi emiten bersandi BBTN itu untuk menggelar rights issue. Tentu saja dengan harapan, saham baru mereka laris manis diserap pemegang saham pada harga tertinggi. Target dana segar dari rights issue bank BTN antara Rp 1,51 triliun–Rp 2,12 triliun. Dana sebesar itu akan mereka gunakan untuk memperkuat modal demi menggenjot pertumbuhan kredit.

Tak cuma BTN, manajemen PT Cowell Development Tbk (COWL) pun berniat menerbitkan saham baru. Selasa pekan lalu (9/10), mereka menerbitkan prospektus rights issue dengan target perolehan dana hingga Rp 905,52 miliar.

Cowell mencari modal baru lantaran berniat mengakuisisi 99,98% PT Plaza Adika Lestari (PAL). Entitas target akuisisi Cowell itu adalah pemilik pusat perbelanjaan Plaza Atrium, perkantoran Graha Atrium, pusat pertokoan niaga di kawasan Segitiga Senen, sekaligus pusat perbengkelan kendaraan bermotor Atrium Service Point.

Emiten bersandi COWL ini sudah meneken perjanjian pembelian saham bersyarat alias conditional sale and purchase agreement (CSPA), 5 Oktober lalu. Nilai akuisisi sebesar Rp 899,8 miliar itulah yang akan ditutup Cowell lewat hajatan rights issue.

Nah, bagaimana prospek rights issue dan kinerja kedua emiten tersebut kelak? Untuk lebih lengkapnya, mari kita simak ulasan berikut ini.

BBTN

PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) akan melepas maksimal 1,51 juta saham rights issue pada kisaran harga Rp 1.000–Rp 1.400 per saham. Perkiraan dana segar yang mereka bisa raup antara Rp 1,51 triliun hingga Rp 2,12 triliun. Dana sebesar itu rencananya akan mereka gunakan untuk memperkuat permodalan demi pertumbuhan kredit.

Hingga saat ini, pemerintah masih menjadi pemegang mayoritas saham BBTN dengan kepemilikan sebanyak 71,85%. Pemerintah Indonesia, dalam prospektus, menegaskan tidak akan melaksanakan seluruh haknya dalam rights issue itu. Targetnya, setelah rights issue selesai, kepemilikan pemerintah susut menjadi 61,35%.

Porsi itu akan kembali menyusut menjadi 60% pada saat program management and employee stock option program (MESOP) saham Bank BTN akan dilaksanakan pada 2017.

Sekadar mengingatkan, efek dilusi dari rights issue bank BTN kali ini mencapai 14,61%. Bertindak sebagai pembeli siaga adalah Bahana Securities, Danareksa Sekuritas, dan Mandiri Sekuritas.

Analis Sucorinvest Central Gani Isfhan Helmy bilang, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) Bank BTN saat ini sebesar 14%. Dengan rights issue, CAR mereka bisa naik 2,5% lagi. Sebagai perbandingan, CAR PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar 13%, masih di bawah Bank BTN. “Biasanya bank melakukan rights issue karena likuiditasnya sudah kering. Tapi dalam kasus BTN ini berbeda,” ujar Isfhan.

Rights issue ini tepat untuk memanfaatkan momentum menggenjot pertumbuhan kredit sebesar 30% per tahun dalam 2 tahun hingga 3 tahun mendatang. “Harapannya mereka bisa menjaga pertumbuhan kredit di atas rata-rata pertumbuhan kredit pasar yang hanya 25%,” ujar Isfhan.

Satu kelebihan Bank BTN yang disukai Isfhan adalah tidak memiliki jeda waktu untuk memanfaatkan dana pihak ketiga (DPK) ke dalam bentuk penyaluran kredit. Dalam empat tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan DPK bank BTN mencapai 25%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan penyaluran kredit bank BTN dalam 4 tahun terakhir mencapai 26%. Dari kondisi itu, Isfhan yakin, dana segar rights issue akan segera menggenjot pertumbuhan kredit bank yang terkenal sebagai penyalur kredit pemilikan rumah (KPR) ini.

Jika kelak kepemilikan pemerintah sudah turun menjadi 60%, Bank BTN akan menikmati potongan pajak penghasilan. “Pajak dia saat ini mencapai 26%. Kalau kepemilikan publik sudah 40%, maka bisa turun menjadi 20%–23% seperti yang dilakukan Bank BRI dulu,” ujar Isfhan. Tentu kondisi ini akan mendongkrak laba bersih Bank BTN kelak.

Satu kelemahan bank BTN adalah margin bunga atau net interest margin (NIM) yang rendah. Pada semester I 2012, NIM bank BTN tercatat sebesar 5,3%, masih masih di bawah Bank Rakyat Indonesia (BBRI) yang mencapai 8%. Kondisi tersebut terjadi karena rasio dana murah alias current account saving account (CASA) Bank BTN hanya 40%, kalah dibandingkan dengan Bank BRI yang bisa mencapai 60%.

Analis Ciptadana Securities Syaiful Adrian berpendapat, NIM Bank BTN yang rendah sebagai konsekuensi pinjaman kredit rumah bersubsidi. Inilah yang membatasi mereka mengerek bunga kreditnya.

Rights issue ini, lanjut Syaiful, sebagai cara untuk meningkatkan modal sehingga bank BTN bisa lebih agresif menyalurkan kredit. Dalam catatan Syaiful, tahun 2011 lalu kredit Bank BTN hanya tumbuh 23,3% dibandingkan dengan pertumbuhan kredit tahun sebelumnya 26,6%. “Tahun ini targetnya pertumbuhannya moderat, sebesar 25,5%,” ujar Syaiful.

Dari sisi rasio kecukupan modal, hitungan Syaiful menunjukkan dengan rights issue ini, CAR bank BTN akan tumbuh dari level 15% menjadi 18% hingga 20%. Hitungan Syaiful masih mengManfaatkan indikasikan target pendapatan bunga bersih Bank BTN tahun 2012 naik dari Rp 3,79 triliun menjadi Rp 4,72 triliun atau naik sekitar 24,54%. Laba bersih juga diperkirakan naik 16,96% menjadi Rp 1,31 triliun dari sebelumnya Rp 1,12 triliun.

Adapun target harga saham yang ia pasang masih Rp 1.400 per saham. “Saya akan merevisi setelah laporan keuangan kuartal ketiga,” tegasnya. Jika harga rights issue Rp 1.200-an, tak ada salahnya investor membeli saham itu.

COWL

Dalam prospektusnya, PT Cowell Development Tbk berencana menerbitkan saham baru sebanyak 4,11 miliar seharga Rp 220 per saham. Harga itu sudah terdiskon 19% dari harga rata-rata saham COWL dalam sebulan terakhir yang sebesar Rp 272 per saham.

Rasio rights issue Cowell adalah 20 berbanding 109. Artinya, setiap pemegang 20 saham lama COWL berhak membeli 109 saham rights issue COWL.Jika dihitung, efek dilusi aksi rights issue ini 84,5%, Saat ini, PT Gama Nusapala masih menjadi pemegang mayoritas dengan kepemilikan 66,07%. Sisanya 33,93% menjadi milik masyarakat dengan kepemilikan di bawah 5%.

Analis Danpac Securities Teuku Hendry Andrean menilai, penggunaan dana rights issue untuk mengakuisisi Plaza Adika adalah langkah strategis. Aksi ini memperkuat fundamental Cowell sekaligus memperkaya portofolio bisnis mereka. “Pendapatan bisnis pusat perbelanjaan dan perkantoran Atrium bisa menstabilkan margin karena adanya recurring income atau pendapatan yang bersifat tetap,” terang Hendry. Atas dasar itu, Hendry memprediksi harga saham COWL bisa melaju setelah rights issue.

Hendry bilang, dari segi lokasi, Atrium berada di pusat kota. Meski begitu, sebagai central business district (CBD),
kawasan Atrium kalah bersaing dari kawasan CBD Sudirman atau pun Kuningan. “Prospek Atrium ke depan bergantung pada pengembangan yang akan dilakukan Cowell,” imbuh dia.

Sementara, Managing Partner PT Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe berpendapat, pengembangan Plaza Adika butuh dana besar dan waktu yang tak sedikit. Kiswoyo justru menilai, aksi Cowell membeli seluruh saham Atrium tidak tepat.

Sebagai catatan, medio 2012 lalu, Plaza Adika mencetak pendapatan Rp 67 miliar atau setengah dari penghasilan Cowell sebesar Rp 148 miliar. Sedangkan laba bersih Plaza Adika senilai Rp 14,5 miliar, juga hanya setengah dari laba bersih Cowell per Juni 2012 yang mencapai Rp 33,4 miliar.

Dalam kacamata Kiswoyo, setelah akuisisi Plaza Adika, Cowell akan menikmati kenaikan signifikan dari sisi aset, tapi citranya tidak bersinar. Aset Cowell senilai Rp 419 miliar saat ini, lebih kecil ketimbang Plaza Adika yang Rp 509 miliar. Berarti, setelah akuisisi, aset Cowell akan naik sekitar 100%. “Tapi, dari sisi aset, Atrium punya image kurang elite, sehingga sulit bersaing dan keterbatasan menaikkan pendapatan sewa,” jelas Kiswoyo.

Mal dan perkantoran Atrium yang menyasar segmen kelas ekonomi menengah ke bawah secara riil memang memiliki pasar yang stabil. Namun, ke depan, Cowell akan kesulitan menaikkan pendapatan karena pasar kelas menengah bawah sangat sensitif terhadap kenaikan harga.

Faktor lain yang masuk pertimbangan Kiswoyo adalah konsistensi Cowell sebagai pengembang. Selama ini Cowell melego properti untuk kalangan menengah atas. Dengan akuisisi Plaza Adika, berarti Cowell tak fokus menggarap pasar menengah atas. “Brand Cowell selama ini bagus. Seharusnya mereka fokus di segmennya,” ujar Kiswoyo. Oleh karena itu, dengan segala pertimbangan tersebut Kiswoyo justru menyarankan sell saham ini.

Beda lagi dengan Hendry. Dia menganggap akuisisi ini diversifikasi produk Cowell yang umumnya landed house. Henry merekomendasikan trading buy dengan target Rp 280 hingga 12 bulan ke depan.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 03 - XVII, 2012 Saham

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×