Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Data inflasi Amerika Serikat (AS) untuk Juli 2025 yang dirilis pada 12 Agustus memberi sinyal ganda bagi pasar keuangan Indonesia dan nilai tukar rupiah ke depan.
Inflasi tahunan AS atau headline Consumer Price Index (CPI) tercatat 2,7% secara tahunan (YoY), di bawah ekspektasi pasar sebesar 2,8%. Namun, inflasi inti (core CPI) justru naik tipis menjadi 3,1% YoY, sedikit di atas perkiraan 3,0%.
Baca Juga: Rupiah Menguat, Cek Proyeksi Pergerakannya untuk Kamis (14/8)
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, data ini menunjukkan tekanan harga inti di AS masih bertahan, tetapi inflasi umum cukup terkendali.
Kondisi tersebut memberi ruang bagi bank sentral AS (The Fed) untuk mulai memangkas suku bunga.
Pasar kini hampir yakin The Fed akan menurunkan suku bunga pada September, bahkan terbuka peluang pemangkasan 50 bps, sejalan dengan tekanan politik dari Presiden Donald Trump dan pernyataan Menteri Keuangan AS Scott Bessent.
“Ekspektasi ini telah menekan imbal hasil US Treasury dan indeks dolar (DXY), sehingga memicu sentimen risk-on di pasar negara berkembang,” ujar Josua kepada Kontan, Rabu (13/8).
Baca Juga: Rupiah Kembali Menguat pada Rabu (13/8), Ekonom Beberkan Pemicunya
Bagi Indonesia, prospek penurunan Fed Rate mengurangi tekanan pada selisih imbal hasil (yield spread) Surat Berharga Negara (SBN) dan mendorong minat investor asing.
Lelang SBN terbaru bahkan mencatat penawaran hingga Rp162 triliun, tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Arus dana asing tersebut menambah suplai valuta asing dan menguatkan rupiah. Pada perdagangan 13 Agustus, rupiah di pasar spot menguat 0,54% menjadi Rp16.202 per dolar AS.
Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun juga turun ke 6,41%, menandakan penurunan premi risiko.
Josua memperkirakan, selama sentimen positif global bertahan, rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan mendapat dukungan.
Hingga akhir kuartal III-2025, arus modal asing diperkirakan tetap masuk, terutama ke SBN dan saham berkapitalisasi besar.
Rupiah berpotensi bergerak di kisaran Rp16.100–Rp16.300, bahkan berpeluang menembus Rp16.100 jika data ekonomi AS berikutnya seperti producer price index (PPI) dan penjualan ritel mendukung kebijakan moneter longgar.
Baca Juga: Rupiah di Pasar Spot Pagi Ini Menguat ke Level Rp 16.261 per Dolar AS, Rabu (13/8)
Meski demikian, ia mengingatkan risiko pembalikan arah tetap ada jika inflasi AS kembali memanas atau The Fed mengirimkan sinyal hati-hati.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menambahkan, dampak tarif baru AS akan mulai terlihat pada September.
Ia memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga 25 bps pada bulan tersebut.
“Ekonomi Indonesia pada semester II akan lebih baik dibanding semester I, sehingga memberi efek positif bagi pertumbuhan, arus modal, dan nilai tukar rupiah,” kata David.
Selanjutnya: Sederet Efek Penggunaan Biodiesel B40 Dirasakan, Industri Tambang Minta Evaluasi
Menarik Dibaca: Jadwal Pertandingan Final UEFA Super Cup 2025: PSG vs Tottenham (14/8/2025)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News