kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.199   95,00   0,58%
  • IDX 6.984   6,63   0,09%
  • KOMPAS100 1.040   -1,32   -0,13%
  • LQ45 817   -1,41   -0,17%
  • ISSI 212   -0,19   -0,09%
  • IDX30 416   -1,10   -0,26%
  • IDXHIDIV20 502   -1,67   -0,33%
  • IDX80 119   -0,13   -0,11%
  • IDXV30 124   -0,51   -0,41%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,19%

Rencana IPO perusahaan teknologi berpotensi mendorong kinerja pasar saham Indonesia


Kamis, 17 Juni 2021 / 10:15 WIB
Rencana IPO perusahaan teknologi berpotensi mendorong kinerja pasar saham Indonesia


Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perusahaan teknologi Indonesia tengah berencana untuk melakukan penawaran umum saham perdana atau IPO. Tiga perusahaan teknologi rintisan berstatus unicorn dan decacorn dikabarkan akan masuk ke Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun ini, yakni entitas gabungan Gojek dan Tokopedia (GoTo), Bukalapak, dan Traveloka.

Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan menyambut positif rencana IPO perusahaan berbasis teknologi tersebut. Menurutnya, rencana itu dapat menjadi katalis positif untuk menarik minat investor, baik asing maupun domestik, kembali masuk ke pasar saham Indonesia.

"Dengan potensi ekonomi digital yang besar di Indonesia, saham perusahaan teknologi Indonesia akan mendapat perhatian dari investor secara global, terutama setelah porsi investor asing menurun beberapa tahun ini," ujar Katarina dalam keterangan tertulis, Rabu (16/6)

Baca Juga: Bakal IPO pertengahan Agustus, Bukalapak targetkan dana jumbo Rp 11,2 triliun

Menurut Katarina, adanya IPO perusahaan teknologi tersebut, akan berpotensi membuat aliran dana asing kembali masuk ke pasar saham Indonesia dan berdampak positif pada kinerja IHSG. Selain itu, tak hanya memberi dampak pada pasar saham, namun juga akan membuat potensi adanya portofolio flow yang dapat berdampak positif bagi neraca pembayaran Indonesia ke depannya.

Lebih lanjut, Katarina menjelaskan, eskposur sektor teknologi pada pasar saham Indonesia masih sangat rendah. Hal ini berbeda dengan ekonomi riil Indonesia di mana perusahaan teknologi justru telah berkembang. Salah satu penyebabnya adalah belum banyak perusahaan teknologi besar yang melakukan IPO di pasar Indonesia.

Ia mencontohkan, saat ini, bobot sektor teknologi dalam IHSG hanya sekitar 0,8%. Bobot tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan yang ada di pasar Amerika Serikat, di mana bobot sektor teknologi mencapai 27 persen dalam indeks S&P 500, atau mencapai 18 persen dalam indeks MSCI Asia Pacific.

Menurutnya, hal tersebut pada akhirnya yang menjadi salah satu faktor mengapa kinerja pasar saham Indonesia tertinggal atau underperform dibanding pasar saham regional dalam beberapa tahun ke belakang. 

Baca Juga: Bundamedik, Induk usaha Diagnos Laboratorium (DGNS) bersiap melantai di BEI

“Minat investor global itu sangat tinggi terhadap sektor teknologi. Sehingga aliran dana investor ke Asia justru mengalir ke pasar saham negara-negara yang memiliki eksposur tinggi di sektor teknologi seperti China, Taiwan, dan Korea Selatan," ujar Katarina.

Namun, ia optimistis Indonesia ke depan punya potensi yang besar pada sektor teknologi yang digadang-gadang sebagai new economy.

Contohnya, di sektor energi terbarukan, Indonesia berpotensi untuk berperan penting dalam rantai pasokan global karena Indonesia adalah penghasil utama dari berbagai komoditas yang menjadi bahan baku untuk berbagai teknologi energi terbarukan, seperti nikel, tembaga dan bauksit.  

Selain itu, untuk ekonomi digital, Indonesia memiliki pasar yang sangat potensial karena populasi yang besar, muda, dan produktif sehingga secara natural Indonesia memiliki daya tarik tersendiri untuk berbagai perusahaan teknologi dan start-up untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnisnya di Indonesia.  

Apalagi, hasil riset Google dan Temasek memprediksi ekonomi digital Indonesia dapat tumbuh 23% per tahun dari US$ 44 miliar di 2020 menjadi US$ 124 miliar di 2025. Sebuah pertumbuhan yang jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan PDB nominal Indonesia. 

“Jadi sebetulnya Indonesia memiliki modal sangat kuat untuk berperan besar dalam perkembangan sektor new economy ke depannya. Apabila Indonesia dapat memaksimalkan keunggulan kompetitifnya dengan baik maka sektor new economy dapat menjadi driver pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat di masa depan,” pungkas Katarina. 

Selanjutnya: Sejumlah bank bersiap menggelar rights issue jumbo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×