Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten properti kawasan industri diproyeksikan bakal melanjutkan kinerja positif, meskipun masih banyak tantangan global.
Sejumlah emiten properti kawasan industri mencatatkan pertumbuhan kinerja sepanjang tahun 2024. Tengok saja, PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) mencatatkan laba bersih Rp 234,22 miliar pada 2024, naik 32,6% secara tahunan (YoY) dari Rp 176,57 miliar di tahun 2023.
SSIA juga mengantongi kenaikan pendapatan usaha 37,8% YoY dari Rp 4,53 triliun di tahun 2023 menjadi Rp 6,25 triliun di tahun 2024.
“Ini didorong oleh peningkatan pendapatan bersih properti sebesar 165% YoY ke Rp 1,40 triliun,” kata manajemen SSIA dalam keterbukaan informasi. Sementara, pendapatan di segmen konstruksi dan perhotelan naik masing-masing sebesar 16,5% Yoy dan 4,2% YoY.
Baca Juga: Surya Semesta Internusa (SSIA) Andalkan Bisnis Lahan Industri
Berdasarkan catatan KONTAN, SSIA optimistis menatap 2025 dengan strategi pengembangan yang lebih terarah, terutama dalam memperluas Subang Smartpolitan sebagai pusat pertumbuhan industri baru di tanah air.
Strategi pertumbuhan itu ditopang oleh lonjakan penjualan lahan industri sepanjang 2024 yang mencapai 162,4 hektare, naik drastis dari 20,2 hektare pada 2023. Sebagian besar penjualan berasal dari kawasan Suryacipta Karawang dan Subang Smartpolitan.
“Kami menjual 4 hektar lahan industri di kawasan Suryacipta Karawang selama kuartal I 2025,” terang Erlin Budiman, Head of Investor Relations SSIA, kepada Kontan, Senin (14/4).
Di sisi lain, PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) membukukan laba bersih Rp 1,33 triliun, naik 10,2% YoY dibanding laba bersih di tahun 2023 sebesar Rp 1,21 triliun. Pendapatan usaha DMAS naik 5,8% YoY ke Rp 2,03 triliun di tahun 2024, dari Rp 1,92 triliun di tahun 2023.
Direktur dan Sekretaris Perusahaan DMAS Tondy Suwanto mengatakan, pertumbuhan pendapatan dari sektor industri memiliki andil signifikan dalam capaian DMAS.
Baca Juga: Surya Semesta Internusa (SSIA) Targetkan Kenaikan Pendapatan 8% pada 2025
Secara rinci, pendapatan dari segmen industri mencapai Rp 1,8 triliun, atau sekitar 88,9% dari total pendapatan usaha di tahun lalu. “Sektor industri, khususnya segmen data center, masih menjadi tulang punggung usaha perseroan,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Di tahun 2025, DMAS menargetkan prapenjualan atau marketing sales sebesar Rp 1,81 triliun di tahun 2025. Target prapenjualan tersebut selain ditunjang oleh penjualan sektor industri, juga terdapat produk komersial maupun hunian di Kota Deltamas.
Kata Tondy, di awal tahun 2025 masih terdapat permintaan lahan industri yang cukup besar yaitu sekitar 90 hektare, sehingga menjadi salah satu pertimbangan dalam menetapkan target prapenjualan 2025.
Adapun, permintaan lahan industri tersebut masih didominasi oleh segmen data center, selain sektor lain seperti FMCG, Chemical, dan lainnya.
Baca Juga: Jababeka Optimistis Permintaan Lahan Industri Tetap Kuat, Didukung Daya Saing RI
“Target prapenjualan Rp 1,81 triliun tahun 2025 merupakan target konservatif moderat, dengan mempertimbangkan hal-hal seperti tingkat pertumbuhan ekonomi nasional dan situasi geopolitik dunia,” ujarnya dalam Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI).
Sementara itu, PT Jababeka Tbk (KIJA) mencatatkan total pendapatan sebesar Rp 4,60 triliun di tahun 2024, naik 39% YoY. Segmen land development & property meningkat 50% YoY dari Rp 1,70 triliun di tahun 2023 menjadi Rp 2,56 triliun di tahun 2024.
Hal ini terutama disebabkan oleh peningkatan penjualan tanah matang, meningkat dari Rp 1,30 triliun pada tahun 2023 menjadi Rp 2,05 triliun pada tahun 2024.
Penjualan tanah matang ini sebagian besar berasal dari Kendal, yang meningkat 60% YoY dari Rp 1,11 triliun pada tahun 2023 menjadi Rp 1,78 triliun pada tahun 2024.
Di tahun 2025, tantangan dan peluang akan dihadapi para emiten. Salah satu tantangan berasal dari perang tarif akibat adanya kebijakan tarif Pemerintah Amerika Serikat (AS) ke sejumlah negara.
Baca Juga: Jababeka (KIJA) Raih Marketing Sales Rp 3,19 Triliun di Tahun 2024
Dalam kebijakan tarif resiprokal pemerintah AS, Indonesia terkena besaran 32%. Namun, saat ini penerapannya ditunda sampai 90 hari ke depan. Di masa penundaan, pemerintah AS akan menerapkan tarif impor minimal 10% kepada 75 negara, termasuk Indonesia.
Sayangnya, Tarif Trump itu telah menyebabkan keributan dan volatilitas pasar global. Apalagi, Washington telah menaikkan tarif atas produk China hingga 145%, sementara Beijing membalas dengan tarif balasan sebesar 125% terhadap produk AS.
“Dampaknya belum bisa dipastikan ke permintaan kawasan industri, karena pasar masih sangat unpredictable,” kata Erlin.
Head of Investment Specialist PT Maybank Sekuritas Indonesia, Fath Aliansyah Budiman mengatakan, dinamika yang terjadi di pasar global pasti akan mempengaruhi minat investasi. Sebab, kebijakan yang berubah bisa membuat perubahan dalam rencana jangka panjang perusahaan yang mau berinvestasi.
Sementara, kalau dilihat dari performa tahun lalu, SSIA menjadi salah satu yang memiliki kinerja yang baik setelah berhasil menjual lahan industri ke BYD. “Ke depannya penjualan lahan sangat mungkin berhubungan dengan ekosistem otomotif (EV),” katanya kepada Kontan, Senin (14/4).
Analis Kanaka Hita Solvera Andhika Cipta Labora menilai, ketiga emiten properti kawasan industri tersebut mengalami kenaikan kinerja karena adanya kenaikan kinerja dari bisnis yang menjadi porsi penyumbang bagi kinerja emiten, terutama dari kawasan industri dan penjualan properti.
Namun, kinerja mereka di kuartal I 2025 tampaknya masih akan stagnan lantaran adanya perang dagang akibat Tarif Trump dan juga pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
Baca Juga: Jababeka (KIJA) Catat Peningkatan Penjualan Lahan Industri 45% pada Kuartal III 2024
Hal itu membuat investor wait and see sampai ada katalis positif yang bisa membuat perekonomian baik lagi yang akan mendukung penjualan kawasan industri.
“Selain itu suku bunga yang masih tinggi juga menjadi katalis negatif untuk sektor properti kawasan industri,” ujarnya kepada Kontan, Senin (14/4).
Analis Infovesta Utama, Ekky Topan melihat, faktor peningkatan kinerja emiten properti kawasan industri di tahun 2024 disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya, peningkatan prapenjualan, transaksi lahan, dan diversifikasi bisnis.
Dari segi kinerja tahun 2024, DMAS menonjol sebagai jawara dengan mencatat laba bersih yang kuat dengan margin mencapai sekitar 65%, serta pertumbuhan prapenjualan yang impresif.
”Meskipun SSIA dan KIJA juga menunjukkan kenaikan, DMAS berhasil mencatatkan angka-angka keuangan yang lebih solid dalam periode tersebut,” katanya kepada Kontan, Senin (14/4).
Baca Juga: Marketing Sales Jababeka (KIJA) Naik 44% pada Tahun 2024, Simak Rekomendasi Sahamnya
Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata melihat, tahun 2024 menjadi momentum pemulihan kuat bagi emiten kawasan industri. Ketiga perusahaan tersebut mencatatkan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih yang solid.
Setidaknya, ada dua sentimen penggerak utama yang memengaruhi kinerja emiten properti kawasan industri tahun lalu.
Pertama, lonjakan permintaan lahan industri, terutama dari sektor data center. Contohnya, DMAS mengantongi 64,5% penjualan dari sektor ini dari total pendapatan segmen lahan industri.
Kedua, stabilitas politik pasca Pemilu 2024, yang meningkatkan kepercayaan investor.
“DMAS tampil dominan tahun lalu, karena mencatatkan laba bersih Rp1,33 triliun, naik 10,2% YoY, dan pendapatan Rp 2,03 triliun, dengan kontribusi industri mencapai 88,9% dari total pendapatan,” ujarnya kepada Kontan, Senin (14/4).
Di kuartal I dan sepanjang tahun 2025, Liza melihat ada dua sentimen positif yang memengaruhi kinerja emiten properti kawasan industri.
Pertama, proyek data center dan EV Hub yang menguntungkan DMAS dan KIJA. DMAS tetap difavoritkan karena infrastruktur yang matang dan konektivitas yang tinggi.
Baca Juga: Jababeka Luncurkan Produk Komersial Multifungsi, Harga Mulai Rp 1,4 Miliar
“KIJA diuntungkan dari permintaan lahan di Kendal Industrial Park (KIP) yang mencapai 84,6 hektare pada 2024,” ungkapnya.
Kedua, proyek strategis SSIA dan BYD. Pada tahun 2024, SSIA menjual 108 hektare lahan ke BYD di Subang Smartpolitan. Proyek konstruksi pabrik dimulai Januari 2025, dengan target operasi awal 2026. Kapasitas produksi pabrik tersebut adalah 150.000 unit EV per tahun.
“Proyek ini berpotensi menjadi katalis positif bagi SSIA. Dampak berupa pencatatan penjualan lahan, efek domino dari masuknya industri turunan, dan kenaikan eksposur serta valuasi kawasan Subang,” paparnya.
Sentimen negatif untuk kinerja emiten properti kawasan industri berasal dari ketegangan geopolitik dan perang tarif. Menurut Liza, ketidakpastian akibat perang tarif dapat memengaruhi investasi, tetapi juga membuka peluang relokasi industri ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Baca Juga: Jababeka: Indonesia Lebih Kompetitif untuk Relokasi Pabrik dari China
Di sisi lain, land bank DMAS juga terbatas. DMAS tengah mencari tambahan lahan baru untuk menjaga momentum pertumbuhannya.
“Untuk KIJA, proyek kawasan EV di Kendal bisa jadi proyek kunci. Tapi, KIJA membutuhkan pengelolaan utang yang lebih efisien,” katanya.
Rekomendasi Saham
Melansir RTI, saham SSIA terjun 40,52% sejak awal tahun. Saham KIJA turun 6,99% YTD dan saham DMAS turun 7,38% YTD.
Saat ini, saham SSIA ada di level Rp 800 per saham, KIJA di Rp 173 per saham, dan DMAS di Rp 138 per saham.
“Kinerja emiten properti kawasan industri pada 2024 yang bertumbuh belum sesuai dengan harga saham emiten saat ini, karena pergerakan ketiga emiten tersebut masih downtrend,” papar Andhika.
Andhika pun merekomendasikan beli untuk SSIA, DMAS, dan KIJA dengan target harga masing-masing Rp 900 per saham, Rp 146 per saham, dan Rp 185 per saham.
Sementara, Liza menyarankan investor untuk mencermati progres proyek dan laporan kuartalan, khususnya untuk SSIA yang berpotensi menjadi kuda hitam di tahun ini.
Selanjutnya: Daya Beli Lesu, Premi Asuransi Properti Jasindo Turun 12,73% di Kuartal-I 2025
Menarik Dibaca: 5 Makanan untuk Daya Tahan Tubuh Lebih Kuat di Musim Hujan, Tidak Gampang Sakit!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News