kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pungutan ekspor getok emiten CPO


Jumat, 17 April 2015 / 07:09 WIB
Pungutan ekspor getok emiten CPO
ILUSTRASI. Reksadana.


Reporter: Annisa Aninditya Wibawa, Avanty Nurdiana | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Pemberlakuan dana pengembangan kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) supporting fund resmi berlaku mulai pekan ini. Produsen kelapa sawit yang melakukan ekspor CPO akan dikenakan US$ 50 per ton. Kemudian, ekspor produk turunan CPO dipungut US$ 30 per ton.

Analis Sucorinvest Central Gani Andy Wibowo Gunawan menilai, emiten yang melakukan ekspor akan terbebani ketentuan pungutan tersebut. Ini menjadi sentimen negatif yang dapat mempengaruhi kinerja emiten perkebunan. "Dari sisi margin bisnis hilir, pungutan ini berpengaruh signifikan. Tapi secara total pendapatan emiten, tak berpengaruh signifikan," ucap dia, kepada KONTAN, Kamis (16/4).

Beberapa emiten saham yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) cenderung memiliki porsi ekspor mungil. Namun dari semuanya, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) yang cukup terkena dampak pungutan ekspor. Andy bilang, pendapatan AALI dari olein memang masih rendah. Tapi AALI berencana membesarkan bisnis hilir tersebut ke depan.

Saat ini, emiten perkebunan milik Grup Astra tersebut menyalurkan seluruh penjualan olein ke pasar luar negeri. "Kami tidak mengekspor CPO. Kalau olein kami baru mulai produksi, semuanya untuk ekspor,” ucap Joko Supriyono, Direktur AALI, beberapa waktu lalu.

Tahun lalu, AALI menjual 255.073 ton olein. Dengan pungutan ekspor US$ 30 per ton, AALI bisa terkena pungutan sekitar US$ 7,65 juta. Pemerintah berkeyakinan, pungutan ini bisa mengerek harga CPO karena meningkatkan permintaan domestik. Namun, Andy menilai penerapan beleid tersebut tidak mempengaruhi suplai CPO secara signifikan.

Ia memperkirakan, harga CPO tahun ini akan di kisaran RM 2.300-RM 2.500 per ton. Pungutan ekspor CPO dan turunannya ini bukan tanpa harapan. Rencananya, pemerintah mengumpulkan hasil pungutan ke dalam CPO supporting fund. Dana tersebut untuk menggenjot penggunaan bahan bakar nabati (BBN). Kemudian, pemerintah mengerek kewajiban penggunaan biodiesel dari 10% menjadi 15%.

Andy menilai, rencana pemerintah menaikkan kewajiban penggunaan biodiesel tak akan berpengaruh besar menaikkan permintaan CPO. Saat inipun, realisasi penggunaan biodiesel yang terserap cenderung masih kecil. Para analis menanti realisasi penerapan kebijakan ini.

Reza Nugraha, analis MNC Securities bilang, kewajiban penggunaan bahan bakar nabati nantinya 10%-15%. "Selama ini banyak wacana tak terwujud," ujar dia. Namun, dalam jangka pendek, yakni tiga-lima bulan efek aturan ini akan menjadi sentimen negatif.

Emiten seperti AALI dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) terkena efek paling besar karena produksi mereka banyak. David N Sutyanto, Analis First Asia Capital, mencermati, pemungutan dana tersebut hanya waste money.

Dana ini digunakan sebagai subsidi untuk menanam CPO bagi petani. Di luar faktor tersebut, David masih merekomendasikan buy untuk emiten CPO. Andy, David dan Reza merekomendasikan PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) sebagai emiten CPO pilihan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×