Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten media diprediksi belum bisa terkerek meskipun belanja iklan saat bulan Ramadan meningkat.
Kinerja emiten media belakangan ini tak lagi seksi lantaran mulai muncul alternatif lain untuk memasang iklan. Akibatnya, pendapatan mereka dari belanja iklan pun berkurang.
“Sejauh ini beberapa emiten mengalami penurunan pendapatan iklan. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan audience share, sehingga terjadi perubahan era yang membuat persaingan di sektor ini cukup ketat,” ujar Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus kepada Kontan, Selasa (5/3).
Misalnya saja, saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 lalu. Banyak pihak yang memprediksi emiten media akan kena dampak positif dari momentum itu.
Baca Juga: Intip Rekomendasi Saham Emiten Media yang Diprediksi Masih Berat di Tahun 2024
Secara historis, pemilu selalu memberikan angin segar bagi emiten media. Namun, kampanye politik saat ini lebih menarik dilakukan lewat media sosial. Akibatnya, permintaan iklan politik di siaran televisi atau radio pun berkurang.
Apalagi, kampanye pemilu lewat media sosial harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan memasang iklan di media televisi. Hal ini membuat dampak Pemilu 2024 ke kinerja emiten media tak lagi signifikan.
Namun, bukan berarti iklan kampanye di televisi ditinggalkan. Sebab, tak dapat dipungkiri bahwa kampanye via iklan di televisi jangkauannya lebih luas.
“Di sisi lain, layanan over-the-top (OTT) dan video on demand makin populer lantaran harganya yang kian terjangkau. Alhasil, banyak user yang berpindah menggunakan OTT,” ungkapnya.
Baca Juga: Menyimak Informasi Terbaru Wacana Merger BMTR dan MNCN
Nico melihat, emiten media seharusnya melakukan mitigasi dengan menyiapkan produk yang mampu mendisrupsi pasar dan memaksimalkan penggunaan internet agar dapat mendorong peningkatan user baru, khususnya di daerah yang jauh dari ibu kota.
Di bulan Ramadan, biasanya belanja iklan juga akan mengalami kenaikan seiring dengan terjaganya daya beli dan konsumsi masyarakat saat ini.
“Namun, belanja iklan juga akan lebih selektif dalam memilih medianya, apakah itu melalui media sosial atau iklan konvensional seperti yang sebelumnya dilakukan. Sebab, ini terkait biaya iklannya,” tuturnya.
Oleh sebab itu, Nico belum memberikan rekomendasi untuk emiten media.
Head of Investment Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe melihat, kinerja emiten media sudah mulai landai sejak ada pelarangan iklan rokok di bawah pukul 22.00. Sebab, iklan produk rokok biasanya lebih mahal dibandingkan dengan iklan produk lainnya.
“Prime time biasanya jam 7 malam sampai 10 malam. Di waktu itu, para pengiklan antre dan biasanya produk rokok rela bayar lebih mahal agar bisa tayang saat prime time,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (5/3).
Di sisi lain, ada tantangan dari kehadiran layanan OTT yang membuat user beralih. Meskipun belum terhitung dengan jelas dampaknya, tetapi ada tren baru yang membuat belanja iklan televisi tak begitu masif.
Baca Juga: Begini Kabar Terbaru Soal Rencana Merger BMTR dan MNCN
“Kinerja mereka di bulan Ramadan juga diperkirakan masih akan memberikan dampak positif ke kinerja emiten media, meskipun tetap tidak lagi signifikan,” tuturnya.
Kiswoyo pun merekomendasikan buy on weakness untuk MNCN dan SCMA dengan target harga masing-masing Rp 420 – Rp 500 per saham dan Rp 180 – Rp 210 per saham.
Equity Analyst Kanaka Hita Solvera William Wibowo melihat, saham SCMA bergerak di level support Rp 142 per saham dan resistance Rp 177 per saham. William pun merekomendasikan speculative buy untuk SCMA dengan target harga Rp 177 per saham.
Baca Juga: Surya Citra Media (SCMA) Sudah Kebanjiran Iklan Terkait Pemilu
Sementara, saham PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) saat ini bergerak di level support Rp 300 per saham dan resistance Rp 372 per saham. William pun merekomendasikan wait and see untuk MNCN dengan target harga Rp 372 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News