Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek kinerja emiten nikel belum mentereng. Sederet tantangan mengadang, mulai dari harga komoditas yang landai hingga surplus pasokan di tengah permintaan yang masih lemah.
Research Analyst Phintraco Sekuritas, Lisya Anxellin, memperkirakan harga komoditas nikel masih cenderung tertekan pada rentang US$ 15.525 hingga US$ 15.000 per ton. Lisya mengamati sejumlah faktor yang menekan prospek harga nikel di awal tahun ini.
Katalis penting datang dari ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China, yang cenderung memberikan dampak negatif terhadap prospek pasar nikel. Situasi ini terjadi ketika pasokan nikel yang masih berlebih belum diimbangi dengan permintaan yang kuat.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Pilihan dari Analis untuk Perdagangan Senin (17/2)
Research Analyst Lotus Andalan Sekuritas Muhammad Thoriq Fadilla menimpali, Indonesia memegang peranan penting sebagai produsen utama nikel dunia. Pasar akan mencermati kebijakan pemerintah Indonesia, yang sebelumnya dikabarkan akan mempertimbangkan pengurangan kuota produksi bijih nikel.
Analis Indo Premier Sekuritas Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan menyoroti sejumlah rencana dan penerapan kebijakan pemerintah yang akan berdampak terhadap prospek kinerja emiten nikel. Di antaranya implementasi bahan bakar B40.
Ryan dan Reggie memprediksi implementasi B40 berpotensi mengerek biaya penambangan rata-rata 15%-20%. Kalkulasi tersebut dengan asumsi B40 tidak akan disubsidi oleh pemerintah, dibandingkan B35 yang mendapat subsidi.
Kebijakan lain yang bakal berdampak adalah rencana peningkatan tarif royalti bijih nikel dari 10% menjadi 15%.
Baca Juga: Prospek Kinerja Diproyeksi Positif di 2025, Cermati Rekomendasi Saham MIKA
Selain itu, perusahaan nikel juga dibayangi ketidakpastian terkait Global Minimum Tax (GMT) sebagai bagian dari mandat Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).
Prospek Jangka Panjang
Meski begitu, Ryan dan Reggie masih mempertahankan rating yang netral bagi prospek komoditas nikel. Sebab, puncak bearish pada sektor ini kemungkinan belum akan terjadi pada tahun ini.
Thoriq juga melihat peluang bagi emiten nikel masih terbuka. Industri baja tahan karat (stainless steel) dan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) masih menjadi pendorong utama permintaan nikel.
Lisya sepakat, prospek nikel untuk jangka panjang masih menarik. Di samping perkembangan industri EV, prospek emiten juga bisa terangkat oleh ekspansi kapasitas produksi.
"Meski terdapat tekanan jangka pendek akibat penurunan harga nikel, tapi kami melihat prospek jangka panjang tetap positif," kata Lisya.
Baca Juga: Simak Lagi Prediksi IHSG dan Rekomendasi Saham Pilihan Analis untuk Senin (17/2)
Sementara itu, pergerakan saham emiten nikel sedang beragam. Ada yang masih melandai, tapi ada juga yang mulai menunjukkan penguatan. Contohnya PT Vale Indonesia Tbk (INCO).