Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar saham domestik jatuh akibat serangkaian kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Anjloknya saham berkapitalisasi besar turut menyeret pelemahan pasar saham.
Berdasarkan data IDX Mobile, Senin (10/2), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau berada di level 6.648,14. IHSG sudah turun sekitar 1,40% secara harian dan terkoreksi 5,43% secara mingguan.
Head of Research & Investment Connoisseur Moduit Manuel Adhi Purwanto mencermati terdapat beberapa faktor penekan IHSG, baik dari internal maupun eksternal.
Manuel menyebutkan, pasar saham terkoreksi akibat rencana Presiden Trump mengenakan tarif 25% untuk impor baja dan aluminium ke Amerika Serikat mulai bulan Maret. Hal ini menimbulkan kekhawatiran meningkatnya inflasi.
Baca Juga: IHSG Berpotensi Lanjutkan Koreksi Selasa (11/2), Cek Rekomendasi Analis
Berlanjutnya penurunan saham BREN turut menekan pasar saham domestik usai gagal masuk ke indeks MSCI pada review bulan Februari 2025.
Saham BREN terkoreksi sekitar 5,34% dalam sehari, sekitar 20,83% dalam sepekan dan 36,36% dalam sebulan.
Selain itu, laporan keuangan yang kurang positif dari PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) memicu penurunan di saham perbankan besar. Saham BMRI tercatat turun 13,79% dalam sepekan.
"Di tengah ketidakpastian pasar, porsi investasi dapat lebih banyak dialokasikan ke emas, reksadana pasar uang, obligasi jangka pendek, dan reksadana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi," kata Manuel kepada Kontan.co.id, Senin (10/2).
Manuel menilai, instrumen-instrumen investasi tersebut dapat diandalkan investor saat ketidakpastian pasar karena memiliki volatilitas rendah.
Sebab, pasar kemungkinan masih akan fluktuatif dalam jangka pendek tergantung sentimen atau berita-berita terkini.
Pada aset saham, investor dapat memilih saham dengan valuasi murah dengan industri yang masih kuat dan proyeksi kinerja akan membaik ke depan, maka pembelian dapat dilakukan bertahap. Investor juga bisa membeli reksadana saham yang dikelola manajer investasi kredibel.
Penurunan saham-saham blue chip juga menjadi kesempatan untuk beli karena valuasi lebih menarik. Namun perlu juga diperhatikan kondisi industri dan proyeksi kinerja kedepan. Jangan hanya berpatokan terhadap harga saham yang murah.
"Untuk saham dapat lebih wait and see dengan memperhatikan pergerakan flow dari investor asing dan membeli saham berkualitas. Pastikan alokasi investasi sesuai profil investor bukan menjadi beban psikologi," jelas Manuel.
Baca Juga: IHSG Ambles, Cek Analisa Teknikal Saham MDKA, TBIG, dan MIKA untuk Selasa (11/2)
Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nicodemus mengatakan, kondisi pasar saat ini dipengaruhi kebijakan Trump, mulai dari perang dagang dengan Meksiko, Kanada, dan China. Meskipun, Meksiko dan Kanada mendapatkan kesempatan untuk ditunda selama 30 hari.
Donald Trump juga berencana mulai menerapkan tarif resiprokal. Ini artinya Trump akan memberikan tarif yang sama kepada semua negara yang mengenakan tarif dari Amerika.
Trump pun mulai mengenakan tarif kepada baja dan aluminium sebesar 25%. Selain itu pemangkasan anggaran pemerintahan Prabowo yang masih diinterpretasikan direspons negatif oleh pasar.
"IHSG berpotensi tertekan pekan ini, apalagi banyak data penting yang akan hadir seperti inflasi AS yang akan keluar tanggal 12 Februari mendatang dan diproyeksikan akan naik. Oleh sebab itu, kami melihat tekanan masih akan tinggi dan IHSG akan bermain di rentang 6.560 – 6.700," ujar Nico kepada Kontan.co.id, Senin (10/2).
Nico menuturkan, tidak ada waktu yang tepat dan pasti untuk membeli saham ketika turun. Koreksi harga saham sebenarnya juga menjadi kesempatan untuk membeli.
Namun, kita harus melihat saham-saham yang memang memiliki fundamental yang baik, prospek industri yang baik, serta potensi valuasi di masa yang akan datang. Tidak ada waktu pasti juga untuk masuk, akumulasi justru menjadi salah satu cara untuk menangkap kesempatan.
"Menunggu merupakan pilihan, membeli mencicil merupakan sebuah kesempatan," imbuh Nico.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana mengatakan, investor dapat bersikap defensif saat ketidakpastian pasar meningkat. Namun, bersikap defensif bukan berarti harus keluar dari pasar saham.
Investor masih bisa memanfaatkan saham relatif tidak terlalu volatil seperti perbankan. Sektor saham infrastruktur telekomunikasi dan konsumer juga menarik karena pertumbuhan sektor rill masih bagus dan ada bantuan pemerintah seperti potongan listrik dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Baca Juga: IHSG Anjlok 1,40% ke 6.648 pada Senin (10/2), ISAT, TLKM, ARTO Jadi Top Losers LQ45
"Defensif juga artinya memilih saham dengan fundamental kuat," jelas Fikri kepada Kontan.co.id, Senin (10/2).
Selain saham, lanjut Fikri, SUN jangka menengah panjang bisa dipilih saat ketidakpastian meningkat karena yield Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sudah turun. Yield SRBI turun sebagai tenor pendek bisa mengerek SUN tenor pendek ikut bergerak turun.
Sementara itu, yield SUN jangka menengah panjang masih tinggi dan penurunan yield tidak akan secepat jangka pendek. Obligasi jangka panjang masih ada risiko Trump ataupun penurunan Fed rate yang masih belum menentu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News