Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi turunnya permintaan dari China dan India dapat membebani harga minyak sawit mentah alias Crude Palm Oil (CPO). Di lain sisi, ditundanya Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa menjadi angin segar bagi harga CPO.
Analis Doo Financial Futures Lukman Leong mengatakan, pergerakan harga cpo akan sangat bergantung pada faktor pasokan dan permintaan. Khususnya permintaan dari China dan India perlu diperhatikan mengingat mata uang mereka cenderung melemah yang pada akhirnya bisa menekan harga CPO.
Lukman menjelaskan, dampak inflasi Amerika dan penguatan dolar AS dapat membebani permintaan CPO di tahun 2025. Terutama konsumen komoditas terbesar di dunia China, menyusul adanya peluang pemerintah China akan membiarkan yuan melemah tahun depan.
Baca Juga: Disokong Permintaan Imlek, Harga CPO Diprediksi Bulish di Awal 2025
Adanya spekulasi pembiaran pelemahan yuan merupakan respons terhadap antisipasi kenaikan tarif perdagangan AS yang dibawa Donald Trump. Yuan yang lebih lemah berpotensi mengurangi biaya ekspor, dan juga bisa menciptakan pengaturan moneter yang lebih longgar.
"Apabila Yuan dan Rupee terus melemah, maka akan menekan permintaan dan supplier akan menurunkan harga," ujar Lukman saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (26/12).
Lukman menyebutkan permintaan CPO berpotensi akan meningkat 2,6 juta ton di tahun depan. Namun di lain sisi kemungkinan permintaan diimbangi oleh naiknya suplai sebesar 2,3 juta ton.
Indonesia dan Malaysia sebagai negara produsen utama diperkirakan masih akan bersaing berebut pangsa pasar dan tidak akan mendukung harga, apalagi mengingat harga cpo saat ini masih sangat tinggi.
"Apabila tidak ada gangguan besar dalam produksi maupun konsumsi, harga CPO diperkirakan akan berkisar MYR 4.300 per ton - MYR 4.600 per ton di 2025, namun seperti biasa, harga akan tinggi menjelang festival dan turun setelah itu," imbuh Lukman.
Lukman berujar, proyeksi harga CPO tersebut dengan asumsi perkembangan yang ada sekarang dan belum memasukkan faktor Trump dan fluktuasi nilai tukar mata uang. Sisi positifnya, mungkin bakal didukung oleh diundurnya Undang-Undang Deforestisasi Uni Eropa (EUDR).
Baca Juga: Potensi Kenaikan Pungutan Ekspor CPO ke 10% Picu Pro dan Kontra
Belum lama ini, Uni Eropa bersama negara-negara Amerika Latin menandatangani pakta free-trade. Negara-negara Amerika Selatan yang pada umumnya merupakan negara agrikultural, diperkirakan bisa memberikan dampak tambahan pada UU deforestisasi Uni Eropa ke depannya, walau Komisi Uni Eropa menampik adanya pengaruh tersebut.
"Perkiraan harga CPO bisa berubah apabila ada perubahan terkait UU Deforestasi," sebut Lukman.
Lukman menambahkan, kebijakan bauran peningkatan dari B35 menjadi B40 di 2025 turut mendukung sentimen positif harga CPO. Namun, efeknya mungkin baru terasa dalam jangka panjang yang menyerap kebutuhan CPO sekitar 1,7 juta ton untuk pelaksanaan program tersebut.
Baca Juga: Demi Topang Program B40, Pemerintah Bakal Kerek Pungutan Ekspor CPO Jadi 10%
Sementara itu, Lukman melihat bahwa saingan CPO yakni minyak biji matahari yang harganya masih terus naik karena gangguan pasokan dari produsen terbesar yakni Ukraina dan Russia tengah berperang. Sedangkan, harga kedelai dari Brasil dan Amerika Serikat lesu karena suplai cukup melimpah.
Berdasarkan data Trading Economics, Kamis (26/12) sore, harga minyak sawit berjangka Malaysia berada di posisi RM 4.576 per ton. Harga CPO meningkat 0,46% dalam sehari, naik sekitar 1,42% dalam sepekan, namun terpantau koreksi 4,61% dalam periode sebulan.
Selanjutnya: Promo Hypermart Dua Mingguan sampai 1 Januari 2025, Snack-Teh Celup Beli 2 Gratis 1
Menarik Dibaca: Promo Hypermart Dua Mingguan sampai 1 Januari 2025, Snack-Teh Celup Beli 2 Gratis 1
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News