Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sektor properti akan diuntungkan insentif PPN DTP Properti yang berlanjut hingga 2025. Di lain sisi, suku bunga tinggi masih menjadi risiko negatif yang membayangi lesunya penjualan properti di tahun depan.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta memandang bahwa kinerja emiten properti akan sangat bergantung pada tingkat suku bunga yang masih tinggi. Sebab, suku bunga yang masih tinggi dalam waktu lama atau higher for longer dapat mengurangi permintaan properti.
"Permintaan di sektor properti masih akan relatif agak lesu karena higher for longer," ujar Nafan saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (29/12).
Belum lagi, lanjut Nafan, adanya kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dari pemerintah turut membebani daya beli masyarakat termasuk pada pembelian properti. Tarif PPN 12% diumumkan bakal berlaku mulai 1 Januari 2025.
Baca Juga: Harganya Bergerak Variatif, Mayoritas Emiten Prajogo Pangestu Getol Ekspansi
Dengan kondisi tersebut, Nafan menilai bahwa emiten properti semestinya mengandalkan segmen bisnis pendapatan berulang (recurring income) seperti pusat belanja. Sedangkan, penjualan properti seperti rumah atau apartemen mungkin hanya akan semarak dibeli oleh masyarakat kelas atas karena kelas menengah ke bawah terdampak kenaikan pajak dan masih menahan diri saat bunga tinggi.
Analis MNC Sekuritas Muhammad Rudy Setiawan memandang, penjualan properti khususnya rumah tapak tetap optimistis di tahun depan karena didukung oleh tren kepemilikan rumah yang meningkat. Hal itu terlihat dari kepemilikan rumah sekitar 80,1% pada 2020 menjadi 84,8% pada 2023, sementara tren sewa menurun menjadi 5,1%.
Kredit perumahan juga tumbuh sebesar 10,8% YoY dan mencapai Rp738,1 triliun dari Januari hingga Agustus 2024, terdiri dari rumah tapak sebesar Rp707 triliun dan unit bertingkat tinggi sebesar Rp30,7 triliun, dengan suku bunga KPR/KPA menurun menjadi 6,9% dan 7,4%.
Pengembang properti juga masih memproyeksikan penjualan pemasaran tumbuh sebesar 5%-10% YoY pada 2024-2025, mencerminkan stabilitas pasar meskipun ada potensi perlambatan pasca normalisasi booming komoditas pada 2022-2023.
Baca Juga: Insentif PPN DTP Berlanjut di 2025, Simak Rekomendasi Saham CTRA, SMRA, PWON, LPKR
Rudy mengatakan, katalis positif bagi emiten properti ialah siklus pemangkasan suku bunga acuan yang berlanjut di 2025. Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga BI sebesar 25 bps menjadi 6% pada kuartal ketiga 2024 dan diperkirakan akan turun lebih lanjut menjadi menjadi 5% pada 2025.
MNC Sekuritas melihat tren suku bunga rendah sebagai katalis positif bagi pengembang dan konsumen properti, mengingat 72,9% pendanaan proyek berasal dari dana internal pengembang, sementara 75,5% konsumen memanfaatkan fasilitas hipotek untuk kepemilikan properti.
Di samping itu, pemerintah juga berkomitmen untuk mencapai "nol backlog" properti pada tahun 2045, dengan defisit saat ini mencapai 10 juta unit pada tahun anggaran 2023. Pemerintah juga menyiapkan dua insentif yang bisa mendukung sektor properti yakni perpanjangan PPN 100% DTP untuk rumah hingga Rp5 miliar per unit hingga tahun anggaran 2025, dan Penghapusan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Insentif pemerintah dinilai cukup positif dalam mengurangi biaya tambahan yang dikeluarkan saat membeli properti, sehingga meningkatkan kemampuan masyarakat untuk membeli properti lebih cepat. Pengembang properti diharapkan memanfaatkan momentum ini dan insentif yang diberikan oleh pemerintah, dengan memanfaatkan inventaris mereka saat ini.
Baca Juga: Intra Golflink (GOLF) Transaksi Afiliasi Beli Tanah Rp 20 Miliar di Bangka Belitung
"Kami memproyeksikan bahwa pengembang akan mampu mencapai pertumbuhan penjualan pemasaran lebih dari 5% di 2025, didukung oleh insentif pemerintah yang dikombinasikan dengan penawaran promosi dari pengembang yang ditujukan untuk menarik minat konsumen," imbuh Rudy dalam riset 11 November 2024.
Di lain sisi, Rudy mewaspadai risiko negatif sektor properti yakni daya beli belum sepenuhnya pulih, dan fluktuasi ekonomi makro terus menghadirkan risiko yang perlu dipantau secara ketat. Akibatnya, pengembang dapat memilih untuk menunda peluncuran properti baru.
Penyerapan properti juga berpotensi lesu karena kelas menengah Indonesia terus tertekan akibat tren yang semakin dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan, mempersulit banyak orang untuk memenuhi kebutuhan dasar.
"Situasi ini menimbulkan risiko bagi penjualan properti karena kelas menengah tetap menjadi kelompok utama dengan daya beli untuk berinvestasi di properti," jelas Rudy.
Baca Juga: IHSG Menguat 0,75% Sepekan, Saham-Saham Bank Masuk Top Leaders
Analis Mandiri Sekuritas Robin Sutanto melihat, pertumbuhan pasar properti akan didorong oleh sektor hunian tapak dan persewaan ritel. Sementara pertumbuhan di segmen perkantoran dan kondominium diperkirakan tetap lesu karena kelebihan pasokan (oversupply), imbal hasil sewa yang kurang menarik, dan prospek keuntungan modal yang lemah dari investor hunian bertingkat tinggi.
Atas kondisi tersebut, Robin menjadikan PT Ciputra Development Tbk (CTRA) sebagai pilihan utama di sektor properti karena portofolio hunian tapaknya yang luas sesuai dengan permintaan yang didorong oleh pengguna akhir (end user). CTRA juga diharapkan memiliki proyek yang lebih besar di luar jawa dan skema Joint Operation (JO) dengan pemilik lahan bisa memberikan tingkat penyerapan yang lebih tinggi dibandingkan dengan rekan-rekannya.
Sementara itu, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) memiliki Net Leasable Area (NLA) atau Luas Sewa Bersih Mal tertinggi dan pertumbuhan masa depan didukung dari jaringan ekspansi yang belum tercermin pada harga saham saat ini.
Baca Juga: Ekspansi Kredit Korporasi Bakal Melandai Tahun Depan
PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) unggul dengan pra-penjualan yang stabil dari proyek BSD City dan pinggiran kota Jakarta lainnya yang diuntungkan dari operasi LRT, misalnya Grand Wisata Bekasi, Kota Wisata Cibubur, juga berpotensi Rancamaya Golf Estate.
PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) sendiri akan didukung dari kemungkinan Initial Public Offering (IPO) bisnis investasi propertinya yakni PT Summarrecon Investment Property (SMIP).
Pencatatan SMIP akan memberikan tambahan uang tunai untuk mendukung deleveraging neraca agar bersaing dengan perusahaan sejenis yang memiliki tingkat gearing yang lebih rendah. Hasil tersebut juga dapat digunakan untuk memperkuat unit bisnis berulang, dan pada gilirannya menurunkan nilai valuasi SMRA.
"Risiko penurunan sektor properti mungkin datang dari daya beli yang menurun yang menghentikan keputusan pembelian properti dan penghentian insentif pemerintah," sebut Robin dalam riset 17 Desember 2024.
Selanjutnya: Prakiraan Cuaca Kalimantan Selatan Untuk Hari Ini (30/12) dan Esok dari BMKG
Menarik Dibaca: Ini Aturan No Buy Challenge 2025 yang Viral di Tiktok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News