Reporter: Melysa Anggreni | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga komoditas logam dasar seperti aluminium dan nikel masih tersendat ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) - China. Alhasil, tensi kekhawatiran terhadap prospek manufaktur global meningkat.
Berdasarkan data Trading Economics, harga aluminium berjangka bergerak di level US$ 2.437 per ton pada akhir perdagangan Jumat (25/4). Angka ini turun 0,91% dari sesi sebelumnya dan 6,49% dalam sebulan.
Adapun tren serupa juga terjadi pada harga nikel dipasar berjangka, di mana harga dibanderol US$ 15.490 per ton atau turun 2,46% dari perdagangan sebelumnya dan 4,35% selama sebulan.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, serangan tarif yang digaungkan oleh Presiden AS Donald Trump menghambat stabilitas harga logam dasar. Hal ini didukung oleh adanya potensi pembangunan besar-besaran pasca gencatan senjata di Timur Tengah dan Eropa, khususnya di wilayah konflik.
Baca Juga: Siapa Penguasa Logam Tanah Jarang Dunia? Inilah 10 Negara Penghasil Terbesarnya
Dalam kondisi seperti ini, peran aluminium sebagai bahan dasar pembangunan pasti akan sangat dibutuhkan. Sehingga berpotensial mendongkrak harga untuk menguat, “Namun, adanya perang dagang ini, memberatkan investor ataupun pengusaha untuk melakukan pembelian,” tambah Ibrahim kepada Kontan.co.id, Minggu (27/4).
Ke depan, arah gerak harga komoditas logam dasar ini sebagian besar akan dipengaruhi oleh eskalasi perang dagang. Jika relasi sengit antara AS - China mereda, maka tidak menutup kemungkinan harga komoditas akan kembali meningkat.
Begitupun sebaliknya, jika China tidak merespon dengan baik usulan negosiasi AS dan tensi perang dagang meningkat, maka harga bisa kembali berjatuhan.
Tetapi perlu digaris bawahi, kenaikan harga akan cenderung bergerak stabil dan tidak melonjak signifikan. “Ini merupakan ciri ekonomi yang bagus, di mana fundamental bagus dan harga cenderung stabil,” kata Ibrahim
Pengamat Komoditas dan Founder Tradeindo, Wahyu Tribowo Lakso bilang, selain menanti eskalasi terbaru perang dagang, terdapat beberapa faktor yang bisa memicu perubahan tren harga ke depan.
Baca Juga: Ini Penyebab Emas Jadi Logam yang Sangat Berharga
Pertama, permintaan di sektor tertentu yang cenderung meningkat stabil seperti permintaan aluminium dan nikel untuk kendaraan listrik atau infrastruktur hijau. Sehingga, dalam jangka panjang permintaan akan cenderung meningkat.
Kedua, pembatasan produksi seperti yang dilakukan oleh beberapa negara produsen utama yang dapat menjadi katalis positif dalam menyokong harga.
“Seperti Indonesia yang berencana melakukan pembatasan produksi nikel di tahun 2025. Hal ini mendukung harga untuk meningkat, walaupun hanya sempat rebound tipis,” ujar Wahyu kepada Kontan.co.id, Jumat (25/4).
Selain itu, kebijakan stimulus fiskal yang fokus pada infrastruktur dan manufaktur juga dapat mendorong kenaikan harga yang mengubah pola bearish pada harga logam dasar. Terakhir, keseimbangan supply - demand dalam jangka panjang.
Artinya, jika pertumbuhan pasokan melambat sementara permintaan tetap stabil atau meningkat, potensi kenaikan harga akan lebih besar.
“Nikel sebagai bahan dasar pembuatan kendaraan listrik pun pasti permintaannya sangat prospektif dalam jangka panjang,” ungkap Wahyu.
Baca Juga: Catat Cara Beli Emas Antam Logam Mulia dan Tips Menabung Emas Bagi Pemula
Secara keseluruhan, Wahyu melihat tren harga aluminium akan bergerak konsolidatif dengan kecenderungan sedikit bearish dalam jangka pendek. Hal ini dikarenakan belum adanya katalisator kuat untuk membalikkan tren harga.
“Proyeksi bisa di bawah US$ 2.300 per ton. Tetapi jika kondisi berbalik, maka tidak menutup kemungkinan akan bergerak kisaran US$ 2.400 - US$ 2.500 per ton hingga akhir tahun,” terang Wahyu.
Dalam analisnya, Wahyu juga memproyeksikan harga nikel dalam jangka pendek akan bergerak kisaran US$ 14.000 - US$ 15.000 per ton. Sementara jika kebijakan ekspor nikel Indonesia sesuai spekulasi dan permintaan kendaraan listrik meningkat, maka bisa saja harga bergerak kisaran US$ 16.000 - US$ 16.700 per ton hingga akhir tahun 2025.
“Perkiraan saya dalam jangka pendek nikel akan bergerak kisaran US$ 15.700 per ton dan aluminium kisaran US$ 2.500 per ton. Sementara hingga akhir tahun nanti, aluminium diperkirakan akan berada kisaran US$ 2.600 per ton dan nikel kisaran US$ 15.900 per ton,” tutup Ibrahim.
Selanjutnya: Astra Otoparts (AUTO) Raih Laba Bersih Rp 505,57 Miliar pada Kuartal I-2025
Menarik Dibaca: Promo Hokben Exclusive Deals dengan Bank hingga 30 April, Ada Diskon 100%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News