Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mayoritas harga logam industri di pasar LME bergerak menguat dalam sebulan terakhir. Peningkatan permintaan hingga gangguan dalam rantai pasokan mendukung pergerakan harganya.
Berdasarkan Bloomberg, timah memimpin penguatan harga dalam sebulan dengan kenaikkan 5,52% menjadi US$ 31.575 per ton hingga Senin (3/3). Kemudian disusul nikel yang naik 4,5% menjadi US$ 15.893 per ton, lalu tembaga sebesar 3,52% menjadi US$ 9.419.
Hanya alumunium yang mengalami perlambatan dengan penurunan 0,46% menjadi US$ 2.611 per ton hingga Senin (3/3).
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo memaparkan penguatan harga logam-logam tersebut didukung gangguan dalam rantai pasokan, seperti pembatasan di sektor pertambangan, pemogokan buruh, dan tantangan logistik. Hal tersebut mempengaruhi ketersediaan logam seperti tembaga dan timah.
Meningkatnya permintaan dari sektor-sektor seperti konstruksi, otomotif, dan elektronik, terutama karena tingginya penggunaan kendaraan listrik turut mendorong permintaan akan logam-logam ini. "Lalu, dukungan fiskal China untuk sektor perumahan telah membantu menstabilkan permintaan logam," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (4/3).
Baca Juga: Tarif Impor Baja dan Aluminium AS Naik 25% Berpotensi Kerek Harga Logam Industri
Selain itu, perdagangan spekulatif dan sentimen investor juga berkontribusi pada fluktuasi harga. Menurut Sutopo, sentimen pasar yang positif terhadap logam industri telah mendorong peningkatan investasi di sektor ini.
"Kombinasi dari berbagai faktor tersebut telah menciptakan tren positif bagi sebagian besar logam industri, meskipun aluminium mengalami sedikit penyesuaian akibat dinamika pasar tertentu," sambungnya.
Adapun alumunium tertekan seiring dengan kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump sebesar 25% untuk alumunium.
Dengan tren itu, Sutopo menilai prospek logam industri pada tahun 2025 tampak menarik. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang akan membentuk tren di masa depan.
JP Morgan telah memproyeksikan kenaikan harga tembaga, dengan perkiraan rata-rata sekitar US$ 11.000 per metrik ton pada tahun 2026. Proyeksi ini didorong oleh adanya defisit global dalam pasokan tembaga olahan, serta tingginya permintaan dari sektor-sektor seperti energi terbarukan dan kendaraan listrik.
Permintaan nikel juga diperkirakan akan tetap kuat, mengingat perannya yang krusial dalam produksi baterai untuk kendaraan listrik. Proses transisi menuju energi hijau dan peningkatan investasi dalam proyek-proyek terbarukan diperkirakan juga akan mendukung harga nikel dalam jangka waktu mendatang.
Kemudian, harga timah juga diprediksi akan tetap tinggi terpengaruh oleh kendala pasokan dan permintaan yang kuat dari industri elektronik. Adopsi teknologi canggih dan perangkat elektronik yang semakin meningkat akan terus mendorong konsumsi timah.
Baca Juga: Meski Menguat, Prospek Harga Logam Industri Diproyeksikan Masih Suram
Di sisi lain, aluminium diperkirakan menghadapi beberapa tantangan akibat kelebihan kapasitas dan fluktuasi permintaan. Meskipun demikian, dorongan untuk penggunaan bahan yang lebih ringan dalam industri otomotif dan kedirgantaraan dapat memberikan dukungan positif bagi harga aluminium.
"Pembatasan perdagangan, seperti larangan logam dari Rusia, juga dapat membuat pasokan logam seperti aluminium dan tembaga lebih ketat yang dapat menjadi kendala bagi pasokan," terangnya.
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong justru berpandangan prospek logam industri kurang positif. Terlebih, lanjutnya, perkembangan akhir-akhir ini dalam konteks kebijakan tarif Trump terutama tarif global 25% pada baja dan aluminium.
"Tembaga memang masih bullish oleh permintaan yang terus meningkat besar setiap tahun, namun kenaikan pada pasokan yang jauh lebih kecil," katanya.
Lukman berpendapat katalis utama untuk logam industri dari stimulus ekonomi China dan kebijakan tarif Trump. Menurutnya, walau prospek pemangkasan suku bunga oleh bank-bank sentral dunia, terutama the Fed bisa mendukung, tetapi perkembangan belakangan ini telah menurunkan harapan tersebut.
Apalagi dengan pengenaan tarif baru sebesar 25% untuk impor dari Kanada dan Meksiko. Hal tersebut bersamaan dengan penggandaan bea masuk untuk barang-barang China menjadi 20%, yang memicu konflik perdagangan baru dengan tiga mitra dagang utama AS.
"Walaupun dengan asumsi retaliasi minimum, tetap ada efek sehingga secara umum logam industri akan lebih rendah akhir tahun ini kecuali tembaga," kata Lukman.
Ia memperkirakan harga tembaga dikisaran US$ 9.500 per ton, timah US$ 28.000 per ton, Aluminium US$ 2.400, dan Nikel US$ 15.000 di akhir tahun 2025. Sementara Sutopo memperkirakan harga nikel di US$ 14.456,61 per ton, timah US$ 35.323,60 per ton, dan alumunium US$ 2.790,09 per ton.
Baca Juga: Prospek Harga Logam Industri Menantikan Kejelasan Kebijakan Trump
Selanjutnya: Jadwal Buka Puasa Hari ini (4/3) Kota Yogyakarta dan Sekitarnya, Ramadhan Hari ke-4
Menarik Dibaca: Hujan Guyur Daerah Ini, Simak Ramalan Cuaca Besok (5/3) di Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News